Lasmi kecil kini sudah mulai beranjak remaja. Meski kaki sebelah kirinya tetap mengecil--akibat terkena polio sejak masih bayi, tetap tidak mengurangi kecantikan yang dimilikinya. Kecantikan alami yang diwarisi dari almarhum ibunya, Suminah.
Lasmi tumbuh bagai bunga yang sedang mekar. Postur tubuhnya tinggi semampai. Rambutnya ikal dibiarkan terurai bak kembang bakung. Pipinya meranum seperti buah tomat yang menggoda untuk segera dipetik.
Mak Sanipah, sejak kematian Suminah--anak semata wayangnya itu, praktis harus siap kejatuhan sampur. Ia mesti mengambil alih merawat Lasmi. Dan Mak Sanipah bukan tidak menyadari bahwa cucunya itu semakin hari semakin mencuri perhatian, khususnya bagi para kaum lelaki yang tukmis.
Tentu saja perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak akan membiarkan Lasmi menjadi obyek tontonan, apalagi menjadi bahan obrolan yang bisa jadi menimbulkan pikiran mesum di kepala para lelaki bermata jalang itu. Ia sangat berhati-hati dalam menjaga Lasmi. Tak sekali pun ia membiarkan Lasmi pergi sendirian. Kemana pun cucunya itu melangkah selalu dikawalnya.
Sementara itu, sudah lama orang-orang menganggap Mak Sanipah adalah sosok perempuan aneh dan misterius karena hidup menyendiri selama bertahun-tahun. Selain itu ia juga diduga memiliki ilmu klenik yakni bisa memanggil arwah orang yang sudah meninggal dan mahluk gaib.Â
Tuduhan orang-orang kian santer manakala diketahui Mak Sanipah memiliki boneka mistik. Boneka gayung yang terbuat dari tempurung kelapa yang didandaninya selayak manusia.
Boneka tempurung itulah yang kemudian dikenal penduduk kampung sebagai Jelangkung.
Kabar yang berembus, boneka Jelangkung milik Mak Sanipah bisa bergerak-gerak sendiri. Terutama saat Mak Sanipah membacakan mantra yang diiringi dengan ritual pembakaran kemenyan. Masih menurut kabar angin, boneka itu bisa diajak berkomunikasi, menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Mak Sanipah dengan cara menuliskan sesuatu menggunakan media kapur tulis. Kapur tulis itu sengaja diikat pada salah satu ujung ruas bambu yang dipasang melintang pada bagian leher boneka.Â
Konon Mak Sanipah mewarisi ilmu bisa menghidupkan benda mati itu dari nenek moyangnya yang masih keturunan Tionghoa.
Sekarang Mak Sanipah sudah merasa begitu tua. Ia berpikir sudah waktunya mewariskan boneka Jelangkung yang dimilikinya itu kepada orang yang dianggap layak dan sanggup manerimanya.
Dan pilihan itu tentu saja jatuh kepada Lasmi cucu kesayangan satu-satunya.
Maka sore itu ketika matahari baru saja tergelincir di ufuk barat, dipanggilnya Lasmi yang tengah duduk termenung di dalam kamarnya.
"Las...kemarilah! Nenek ingin bicara denganmu," suara Mak Sanipah terdengar parau. Lasmi bergegas beranjak dari duduknya. Langkahnya terseok. Nyaris kaki kirinya yang lemah tersandung dingklik --kursi kecil yang melintang di dekat pintu.
"Ya, Nek. Mau bicara soal apa?" gadis yang baru beberapa kali mendapatkan haid itu mengambil tempat duduk di sisi amben, menjejeri neneknya.
"Tentang boneka Jelangkung ini, Las," Mak Sanipah mengangkat tinggi-tinggi boneka di tangannya.
Seketika wajah Lasmi memucat. Pasi. Seperti bulan perawan yang bangun kesiangan.
***
Entah mengapa melihat penampilan boneka di tangan neneknya itu rasa takut mendadak menjalari sekujur tubuhnya. Lasmi bahkan tak mampu menggerakkan kesepuluh jemari tangannya.
Sementara Mak Sanipah terlihat mulai sibuk. Ia menggoyang-goyangkan tubuh boneka tempurung di tangannya sambil membaca mantra. Kemudian secara tiba-tiba ia melompat dari tempat duduknya dan bersila di dekat jendela. Tangan kirinya yang kurus memercikkan sedikit demi sedikit kemenyan di atas bara arang yang sejak tadi sudah disiapkannya. Sementara tangan kanannya masih erat memegangi boneka Jelangkung.
"Jelangkung...Jelangsat. Di sini ada pesta. Datanglah...datanglah...menyusuplah. Datang tak diantar, pulang tak dijemput..." suara Mak Sanipah terdengar sengau.
Beberapa saat aroma wangi menguar bersama kepulan asap yang membumbung tinggi memenuhi ruangan. Wangi kemenyan yang amat sangat menyengat itu membuat Lasmi sontak menutup hidung.Â
Mak Sanipah menambah lagi satu percikan kemenyan di atas anglo--pediangan tua yang terbuat dari tanah.Mulutnya tak henti berkomat-kamit membaca mantra.
Blup!
Mendadak Lasmi tersedak. Ia terbatuk berulang-ulang.
"Hoooekk...!" gadis muda itu tak dapat lagi menahan rasa mual yang mengaduk-aduk isi perutnya. Dan tak pelak lagi, ia pun muntah berkali-kali. Mak Sanipah terkejut. Seketika ia menghentikan ritualnya. Didekatinya Lasmi yang masih menangkup erat bawah dadanya dengan kedua tangan.
Dengan panik Mak Sanipah merengkuh pundak Lasmi. Lalu direbahkannya perlahan kepala cucu kesayangannya itu di atas dadanya yang ringkih.
"Apa yang terjadi padamu, Nduk?" Mak Sanipah bertanya cemas. Lasmi tidak menyahut. Hanya kepalanya sedikit miring ke kiri. Melirik ke arah boneka Jelangkung yang dibiarkan tergeletak di atas lantai.
"Kau sakit, Lasmi?" kembali Mak Sanipah bertanya. Lasmi tetap membisu. Mak Sanipah terpaku. Dilihatnya boneka Jelangkung berdesing hebat. Seolah memanggilnya.Â
Segera Mak Sanipah berdiri, mendapati kembali boneka dari tempurung kelapa itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
"Jelangkung...Jelangsat! Katakan apa yang sudah menimpa cucuku Lasmi!" suara Mak Sanipah meninggi. Tampak sekali ia tengah memendam kegeraman yang amat dalam.
Boneka Jelangkung menggerak-gerakkan ujung ruas bambu yang bersemat kapur tulis. Mak Sanipah segera tanggap. Diraihnya papan kecil di bawah kolong meja.
Kejadian selanjutnya adalah--boneka Jelangkung di hadapan Mak Sanipah mulai mencoretkan kalimat.
"Lasmi hamil..."
Mak Sanipah terperangah.Â
"Oleh siapa?" Mak Sanipah terpekik dengan suara gemetar.
"Oleh orang yang sama. Orang yang pernah merenggut keperawananmu, juga anakmu--Suminah.'
Mak Sanipah merasa sekujur tubuhnya melunglai. Dadanya yang rata melesak dipenuhi luka yang amat nyeri.
"Biadab sekali kau Basukiiiii...!!!" jeritnya sebelum tubuh rentanya ambruk menggelosoh di atas ubin yang dingin.
Sementara itu, Lasmi cantik masih tergugu diam di atas amben. Menatap boneka Jelangkung yang tak henti mengumbar tawa.
***
Malang, 19 Juli 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H