Maka sore itu ketika matahari baru saja tergelincir di ufuk barat, dipanggilnya Lasmi yang tengah duduk termenung di dalam kamarnya.
"Las...kemarilah! Nenek ingin bicara denganmu," suara Mak Sanipah terdengar parau. Lasmi bergegas beranjak dari duduknya. Langkahnya terseok. Nyaris kaki kirinya yang lemah tersandung dingklik --kursi kecil yang melintang di dekat pintu.
"Ya, Nek. Mau bicara soal apa?" gadis yang baru beberapa kali mendapatkan haid itu mengambil tempat duduk di sisi amben, menjejeri neneknya.
"Tentang boneka Jelangkung ini, Las," Mak Sanipah mengangkat tinggi-tinggi boneka di tangannya.
Seketika wajah Lasmi memucat. Pasi. Seperti bulan perawan yang bangun kesiangan.
***
Entah mengapa melihat penampilan boneka di tangan neneknya itu rasa takut mendadak menjalari sekujur tubuhnya. Lasmi bahkan tak mampu menggerakkan kesepuluh jemari tangannya.
Sementara Mak Sanipah terlihat mulai sibuk. Ia menggoyang-goyangkan tubuh boneka tempurung di tangannya sambil membaca mantra. Kemudian secara tiba-tiba ia melompat dari tempat duduknya dan bersila di dekat jendela. Tangan kirinya yang kurus memercikkan sedikit demi sedikit kemenyan di atas bara arang yang sejak tadi sudah disiapkannya. Sementara tangan kanannya masih erat memegangi boneka Jelangkung.
"Jelangkung...Jelangsat. Di sini ada pesta. Datanglah...datanglah...menyusuplah. Datang tak diantar, pulang tak dijemput..." suara Mak Sanipah terdengar sengau.
Beberapa saat aroma wangi menguar bersama kepulan asap yang membumbung tinggi memenuhi ruangan. Wangi kemenyan yang amat sangat menyengat itu membuat Lasmi sontak menutup hidung.Â
Mak Sanipah menambah lagi satu percikan kemenyan di atas anglo--pediangan tua yang terbuat dari tanah.Mulutnya tak henti berkomat-kamit membaca mantra.