Ditatap seperti itu, mendadak aku salah tingkah. Bergegas aku mematikan mesin motor.
"Nisa. mari kita bicara di dalam, Nduk. Biarkan Didot pergi kalau memang itu kemauannya," Emak menggamit lengan Anisa. Dan calon istriku itu mengikuti langkah Emak yang gontai masuk ke ruang tengah.
Tinggallah aku sendiri. Berdiri termenung. Tidak tahu mesti berbuat apa.
Sampai jemari bocah kecil nan cantik itu menyentuh pinggangku.
"Kak Didot. Temui Emak dan Kak Anisa, dong. Tuh, Emak masih menangis," Aisyah menatapku sedih.
Masih serba salah, ragu aku melangkahkan kaki menuju ruang dalam.Â
Menemui dua perempuan yang duduk saling berpeluk.
***
Kukira Emak akan menceritakan perihal surat Arumi kepada Anisa. Tapi ternyata tidak. Emak hanya mengatakan kalau hari itu merasa kurang enak badan.
Kulihat Anisa sabar menemani Emak. Tanpa banyak tanya ia memijit kening Emak.
"Ada yang bisa aku bantu, Nisa?" tanyaku memecah keheningan. Anisa menoleh ke arahku. Lalu mengangkat satu tangannya dan berbisik, "Mungkin Emak ingin istirahat di kamarnya, Dot. Bantu memapah, ya."