"Dot, sudah pernah membaca kisah istri-istri Rasulullah, belum? Tentang kecemburuan Aisyah misalnya," Anisa memulai pembicaraan. Aku mengangguk.
"Cemburunya seorang perempuan itu lumrah, ya, Dot. Apalagi Aisyah ketika menikah usianya masih di bawah umur. Sehingga Rasulullah perlu banyak membimbingnya," Anisa melanjutkan. Wajahku mendadak merah padam.
"Kau cemburu padaku, Nisa?" aku beringsur dari tempat dudukku. Anisa tertawa.
"Aku perempuan dewasa, Dot. Jikalau aku cemburu, tentu harus memiliki alasan," Anisa menyipitkan kedua matanya. "Kenapa bertanya begitu? Apakah kau telah melakukan sesuatu yang memicu kecemburuanku?" ia melepas kacamatanya dan menyeka ujung dagunya dengan tisu.
Aku terdiam. Tak mampu berkata-kata.
"Oh, ya. Aku baru saja menerima pesan dari seorang teman lama semasa SMU. Ia bercerita banyak tentang dirinya. Salah satu yang membuatku tertarik adalah ia mengatakan hendak menikah dengan seseorang, pilihan orang tuanya. Tapi ia mengaku tidak mencintai orang itu. Melainkan mencintai orang lain."
"Apa-kah ia seorang gadis?" tanyaku gugup. Hatiku mulai was-was.
"Bukan! Ia seorang pemuda, Dot. Dan ia memaksaku untuk bertemu."
"Kamu menemuinya?"
"Tentu saja, tidak. Â Sebab orang yang dimaksud masih dicintainya itu adalah--aku..."
Lagi-lagi aku terdiam.