"Ais mau masuk kelas bareng Bu guru atau diantar Kak Didot?" aku sengaja mencari perhatian. Bu guru cantik itu seketika menatapku.
"Oh, ini kakaknya Ais ya? Selamat ya...Ais terpilih menjadi siswa teladan. Insya Allah nanti akan diminta tampil ke atas panggung untuk menerima penghargaan," ujar Bu guru itu seraya mengumbar senyum.Â
"Benarkah? Kenapa Ais tidak bilang-bilang?" aku mendelik ke arah Ais.
"Ais mau bikin kejutan buat Kakak!" Ais meringis lucu. Duh, ini anak. Benar-benar menggemaskan. Sukses sudah membuat kakaknya salah tingkah.
"Silakan menempati kursi undangan yang sudah disediakan," Bu guru cantik itu mengangguk ke arahku. Lalu jemari tangannya yang lembut menuntun Ais berjalan melewati koridor sekolah.
***
Sepulang dari mengantar Ais, aku duduk merenung di dalam kamar. Membolak-balik ulang perasaanku.Â
Beberapa saat lalu hatiku sempat kecewa. Meski aku sudah mengikhlaskan semuanya sesuai nasehat Emak, toh untuk bisa memulai kembali dari awal sungguh terasa amat sulit.Â
Ya, melupakan sosok Arumi butuh waktu sekaligus butuh penawar.
Penawar? Bukankah Allah telah mengirim Bu guru cantik itu sebagai mengobati rasa kecewamu?Â
Duh, entah bagian hati sebelah mana yang berbisik konyol demikian.