Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Cermin | Sungguh, Engkau yang Tercantik di Hatiku

23 Mei 2018   05:23 Diperbarui: 23 Mei 2018   05:19 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : emulatoria.id

Pagi masih berselimut kabut ketika Aisyah masuk ke dalam kamarku. Adik kecilku itu sudah berdandan rapi dan tampil cantik. Ia mengenakan busana muslim berwarna merah cerah lengkap dengan hijab modifikasi.

"Wah, cantik sekali, Neng. Mau ke mana?" aku menggodanya.

"Kan hari ini Ais diwisuda, Kak. Ais sudah lulus TK," ia menyahut dengan suara renyah. Aku terperangah. Lulus TK saja diwisuda? Bagaimana dengan aku yang sampai sekarang belum lulus-lulus juga?

"Kak Didot jadi mengantar Ais ke sekolah, kan?" Ais menatapku dengan  penuh harap. Karena kebetulan tidak ada jadwal masuk kuliah aku mengangguk.

Sekitar pukul setengah tujuh kuhidupkan motor dan membonceng Aisyah menuju sekolahnya yang tidak seberapa jauh.

Hanya berkisar sepuluh menit kami sampai di pintu gerbang sekolah. Beberapa anak bersama orang tua mereka terlihat sudah hadir. 

Saat menurunkan Ais, seseorang datang menghampiri. Seorang perempuan muda mengenakan hijab warna pink dan berkaca mata minus. Tangannya terulur ke arahku.

Eh, tidak. Tangan itu ternyata terulur ke arah Ais.

"Assalamualaikum, Ais. Wah, cantik sekali pagi ini..."

"Waalaikum salam, Bu Guru," Ais membalas salam perempuan itu dengan wajah riang.

Agak tengsin aku mengelus dagu. Sembari membatin dalam hati. Oh, jadi ini Bu guru yang selalu diceritakan Ais itu? Iya, juga sih. Ia memang cantik. Kulitnya putih. Penampilannya anggun dan terlihat sangat ramah.

"Ais mau masuk kelas bareng Bu guru atau diantar Kak Didot?" aku sengaja mencari perhatian. Bu guru cantik itu seketika menatapku.

"Oh, ini kakaknya Ais ya? Selamat ya...Ais terpilih menjadi siswa teladan. Insya Allah nanti akan diminta tampil ke atas panggung untuk menerima penghargaan," ujar Bu guru itu seraya mengumbar senyum. 

"Benarkah? Kenapa Ais tidak bilang-bilang?" aku mendelik ke arah Ais.

"Ais mau bikin kejutan buat Kakak!" Ais meringis lucu. Duh, ini anak. Benar-benar menggemaskan. Sukses sudah membuat kakaknya salah tingkah.

"Silakan menempati kursi undangan yang sudah disediakan," Bu guru cantik itu mengangguk ke arahku. Lalu jemari tangannya yang lembut menuntun Ais berjalan melewati koridor sekolah.

***

Sepulang dari mengantar Ais, aku duduk merenung di dalam kamar. Membolak-balik ulang perasaanku. 

Beberapa saat lalu hatiku sempat kecewa. Meski aku sudah mengikhlaskan semuanya sesuai nasehat Emak, toh untuk bisa memulai kembali dari awal sungguh terasa amat sulit. 

Ya, melupakan sosok Arumi butuh waktu sekaligus butuh penawar.

Penawar? Bukankah Allah telah mengirim Bu guru cantik itu sebagai mengobati rasa kecewamu? 

Duh, entah bagian hati sebelah mana yang berbisik konyol demikian.

Ketukan halus pada pintu membuatku bangkit. Kulihat Emak berdiri menatapku.

"Sudah bersiap-siap, Dot?"

"Bersiap-siap kemana, Mak?"

"Loh, memang Emak belum kasih tahu, ya? Sore ini kita diundang buka bersama keluarga jauh sepupu mendiang Ayahmu."

Karena tidak ingin mengecewakan Emak serta tidak baik menolak rezeki, aku gegas meraih jaket dan kunci motor. 

"Ais bonceng di depan, ya. Dan Emak di belakang," ujarku seraya menyalakan mesin.

Motor meluncur ke arah barat menuju kampung sebelah. Sekitar lima belas menit kami sampai di kediaman Wak Ujang, sepupu dari mendiang Ayah.

Dan hatiku berdegup kencang manakala melihat sosok yang berdiri menyambut kami.

Bu guru cantik itu!

Antara senang dan bingung aku berbisik di telinga Emak.

"Memang dia siapa-nya Wak Ujang, Mak?"

Emak segera tanggap apa yang kumaksudkan. Dengan suara sengaja dikeraskan ia menjawab, "Ini anak sulung Wak Ujang, Dot. Sejak kecil dia tinggal bersama neneknya di rantau."

"Oh, pantas aku tidak pernah melihatnya," aku melirik ke arah Bu guru cantik itu.

Tiba-tiba seorang bocah usia sekitar dua tahunan berjalan tertatih menghampiri.

"Mama...Mama..."

Bu guru cantik itu mengulurkan tangan. Menggendong bocah kecil itu seraya berkata, "Ini anak saya. Tepatnya--anak angkat saya."

***

Malang, 23 Mei 2018

Lilik Fatimah Azzahra

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun