Ia bercerita lagi, dengan suara bergetar, bagaimana Wak Dun telah menjebaknya. Membawanya ke suatu tempat---semacam losmen kecil ketika para anggota Jathilan yang lain sedang menggelar pertunjukan untuk bebersih desa.Â
"Mengapa kau tidak berusaha menolaknya?" aku menyesalkan tindakannya seraya menyodorkan secangkir kopi. Ia terdiam. Jemarinya menangkup pinggang cangkir dan memutar-mutarnya perlahan di atas meja.
"Ia laki-laki yang kuat. Sangat kuat. Meski sudah setengah umur," ia berkata pelan.
"Kau tidak ingin melaporkannya kepada polisi?" aku masih belum puas dengan jawaban yang diberikannya.
"Dengan bukti apa? Aku tidak menyimpan bukti apapun. Satu-satunya bukti bercak darah pada celana dalamku sudah kubuang ke dalam tong sampah."
"Kau seharusnya tidak membuangnya. Itu bisa menjadi senjatamu menyeret lelaki hidung belang tak tahu diri itu," aku menyesali kecerobohannya.
"Kau kira mudah memidanakan seorang Wak Dun? Ia punya banyak uang. Tentu orang-orang lebih percaya padanya ketimbang padaku," ia menyeruput sedikit kopinya. Mendadak kegetiran ikut merasuki hatiku. Ya, aku paham. Wak Dun adalah orang berpengaruh di kampung kami. Ia cukup dihormati karena kekayaannya yang melimpah ruah.
"Jadi itu yang membuatmu tiba-tiba menghilang dari kampung ini?" aku menatapnya dalam-dalam. Ia menggeleng.
"Lalu?" aku mendesaknya.
"Usai Wak Dun, beberapa laki-laki di kampung ini---yang sudah beristri--- berbondong-bondong antre meniduriku."
Aku ternganga.