***
Percakapanku dengannya tidak berhenti sampai di situ. Ia bicara sangat banyak. Aku sendiri heran mengapa ia begitu mempercayaiku, menjadikanku sebagai tempat curhatnya. Mungkin karena aku bersikap baik padanya. Tidak memusuhinya.
"Semua perempuan di kampung ini menghujatku," ia mengeluh. Tatapannya kosong. Sejenak perasaanku bercampur aduk. Di lain pihak aku paham dan memaklumi perasaan para istri yang suaminya bermain api dengan perempuan lain. Apalagi perempuan itu masih tergolong bocah. Masih ranum.
Di sisi lain aku kasihan padanya. Pada gadis mantan penari Jathilan itu. Setiap kali pulang, orang-orang pasti akan menyambutnya dengan cibiran. Bahkan ada yang tak segan menyerangnya. Menjambak rambut atau mencakar pipinya yang lembut dan montok itu.Â
Itulah sebab ia tidak berani pulang. Dan kalau toh ia kangen pulang, maka orang yang pertama kali dikunjunginya itu adalah aku. Ia tidak punya tempat singgah lain. Bahkan kedua orangtuanya belakangan ikut-ikutan membenci dan menolak kehadirannya.
"Anak tidak tahu diri! Kau sudah mempermalukan keluarga! Pergi kau!" begitu aku pernah mendengar ayah tirinya menghalaunya seperti mengusir seekor anjing buduk. Aku semakin kasihan melihatnya. Ia tidak seharusnya mengalami nasib sedemikian buruk.Â
Semua berawal dari ulah Wak Dun itu. Ia jadi dikucilkan dan dibuang oleh keluarga sendiri, sungguh, aku tidak berani membayangkannya.
"Sekarang kau tinggal di mana?" aku menatapnya penuh simpati.
"Sementara ini aku menetap di losmen itu. Jadi anak kesayangan Mama di sana."
Penjelasannya yang jujur membuatku menghela napas panjang.Â
"Sudah kepalang tanggung. Semua orang terlanjur memusuhiku. Satu-satunya orang yang menerimaku dengan baik hanya pemilik losmen itu," ia tertawa. Getir.