***
Gubraaakkk!!!
Suara gaduh itu, dari kamar sebelah. Membuyarkan lamunan indahku. Setengah hati aku turun dari tempat tidur, menyeret langkah keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.
Langkahku terhenti di depan pintu  kamar yang ditempati oleh Mas Adi dan Sarlita, maduku. Agak lama aku berdiri di sana. Suara gaduh tidak terdengar lagi. Juga desah dan tawa kecil Sarlita. Lengang.
"Yakin kau sudah mengikhlaskan suamimu tidur dengan perempuan lain?" sebuah suara, entah berasal dari mana tiba-tiba mengusik telingaku.
"Sekali lagi kutanyakan padamu. Apakah kau benar-benar rela berbagi suami?"
Mendadak dadaku terasa penuh. Mataku nanar.Â
Kudorong daun pintu dengan kasar.Â
Sepasang pengantin baru itu--aku melihatnya. Mereka  tertidur pulas di atas ranjang. Oh, tidak, bukan di atas ranjang, melainkan di atas lantai yang tertutup  oleh karpet berwarna merah darah. Â
Aku melangkah perlahan. Membungkukkan badan dan menyentuh punggung Sarlita, maduku. Lalu beralih ke punggung suamiku. Terasa dingin dan beku.
"Perempuan hebat! Perempuan pintar!" silih berganti suara setan memujiku. Memekakkan gendang telingaku.Â