Di luar senja baru saja menuntaskan hujan. Perciknya membekas pada kaca jendela seolah ikut mengamini bahwa apa yang dikatakan Ayah dan dua sabahatku itu benar. Aku ini memang perempuan bodoh.
Ya, aku memang bodoh. Bukankah istri yang membiarkan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain tanpa alasan yang jelas adalah istri yang bodoh?
Udara dingin merasuk ke dalam kamar melalui lubang angin di atas jendela. Membuatku semakin erat memeluk lutut.Â
Sementara di kamar sebelah, samar-samar kudengar suara desah tertahan yang sesekali diselingi tawa kecil.
Mas Adi dan Sarlita.Â
Mereka tengah menuntaskan kebahagiaan.Â
Aku merebah. Mencoba memejam mata. Sekelumit kenangan tiba-tiba saja menyeruak di bawah alam sadarku. Kenangan manis awal pertemuan kami--aku dan Mas Adi.
Pria kurus itu, aku mengenalnya melalui dunia jejaring sosial. Aku jatuh cinta padanya. Cintaku bersambut. Lalu tanpa proses berbelit-belit ia menyatakan siap menikahiku.
"Ini pernikahan paling gila yang pernah terjadi di abad ini, Ra," Mas Adi berkata seraya mencium lembut keningku, sebelum kami beranjak menuju peraduan.
"Benar, Mas. Ini seperti mimpi. Tiba-tiba saja semua terjadi. Kau hadir sebagai jodohku," aku tersenyum malu-malu.Â
Mas Adi merengkuhku, melumat habis bibirku untuk kemudian membawaku terbang menuju awang-awang.