Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Oh, Maduku Sayang

10 Februari 2018   09:00 Diperbarui: 12 Februari 2018   02:25 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.favim.com

"Bodoh!" lagi-lagi kata kasar itu kudengar. Kali ini keluar dari mulut Ayah, lelaki yang telah mengukir jiwa ragaku, yang teramat sangat menyayangiku. 

Aku tertunduk tak berani membalas tatapan Ayah.

"Dimana suamimu sekarang? Mana Dia?!" 

"Mas Adi sedang mengurus surat pindah gadis itu, Ayah."

"Oh,  Nduk  Rara. Kau ini benar-benar istri yang sangat bodoh!" Ayah mengepalkan tangannya dan meninju dinding ruang tamu berulang-ulang.

***

Oh, ya, belum kuceritakan apa yang membuat Ayah sebegitu marahnya padaku. Ayah telah mendengar desas-desus tidak sedap itu. Tentang Mas Adi.

Ketika Ayah mengkonfirmasikan kebenarannya padaku--aku mengiyakan, dan saat itulah Ayah tidak bisa lagi meredam emosinya.

Sebenarnya bukan hanya Ayah yang terlihat geram terhadap sikapku. Dua teman karibku, Jesi dan Erna juga tidak kalah kesalnya ketika mengetahui apa yang tengah terjadi dalam kehidupan rumah tanggaku.

"Kau masih waras kan, Ra?" Jesi menatapku tajam.

Aku tidak  menjawab.  Aku sendiri tidak tahu apakah aku ini masih waras atau tidak.

Mata Jesi yang bulat masih terarah padaku.

"Aku hanya ingin menyenangkan hati Mas Adi, Jes."

"Menyenangkan hatinya dengan cara seperti itu?"

"Iya. Dengan caraku sendiri. Karena aku sangat mencintainya..."

"Astaga Rara! Cinta benar-benar telah membutakanmu!" Jesi mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

"Mas Adi sudah lama memendam keinginan itu, Jes. Aku kasihan padanya."

"Apa? Sudah lama?" Jesi dan Erna saling berpandangan. 

"Kau benar-benar bodoh, Ra! Teramat sangat b-o-d-o-h!"

Dua sahabatku mengomeliku.

Dan aku hanya diam membisu.

***

Di luar senja baru saja menuntaskan hujan. Perciknya membekas pada kaca jendela seolah ikut mengamini bahwa apa yang dikatakan Ayah dan dua sabahatku itu benar. Aku ini memang perempuan bodoh.

Ya, aku memang bodoh. Bukankah istri yang membiarkan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain tanpa alasan yang jelas adalah istri yang bodoh?

Udara dingin merasuk ke dalam kamar melalui lubang angin di atas jendela. Membuatku semakin erat memeluk lutut. 

Sementara di kamar sebelah, samar-samar kudengar suara desah tertahan yang sesekali diselingi tawa kecil.

Mas Adi dan Sarlita. 

Mereka tengah menuntaskan kebahagiaan. 

Aku merebah. Mencoba memejam mata. Sekelumit kenangan tiba-tiba saja menyeruak di bawah alam sadarku. Kenangan manis awal pertemuan kami--aku dan Mas Adi.

Pria kurus itu, aku mengenalnya melalui dunia jejaring sosial. Aku jatuh cinta padanya. Cintaku bersambut. Lalu tanpa proses berbelit-belit ia menyatakan siap menikahiku.

"Ini pernikahan paling gila yang pernah terjadi di abad ini, Ra," Mas Adi berkata seraya mencium lembut keningku, sebelum kami beranjak menuju peraduan.

"Benar, Mas. Ini seperti mimpi. Tiba-tiba saja semua terjadi. Kau hadir sebagai jodohku," aku tersenyum malu-malu. 

Mas Adi merengkuhku, melumat habis bibirku untuk kemudian membawaku terbang menuju awang-awang.

***

Gubraaakkk!!!

Suara gaduh itu, dari kamar sebelah. Membuyarkan lamunan indahku. Setengah hati aku turun dari tempat tidur, menyeret langkah keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.

Langkahku terhenti di depan pintu  kamar yang ditempati oleh Mas Adi dan Sarlita, maduku. Agak lama aku berdiri di sana. Suara gaduh tidak terdengar lagi. Juga desah dan tawa kecil Sarlita. Lengang.

"Yakin kau sudah mengikhlaskan suamimu tidur dengan perempuan lain?" sebuah suara, entah berasal dari mana tiba-tiba mengusik telingaku.

"Sekali lagi kutanyakan padamu. Apakah kau benar-benar rela berbagi suami?"

Mendadak dadaku terasa penuh. Mataku nanar. 

Kudorong daun pintu dengan kasar. 

Sepasang pengantin baru itu--aku melihatnya. Mereka  tertidur pulas di atas ranjang. Oh, tidak, bukan di atas ranjang, melainkan di atas lantai yang tertutup  oleh karpet berwarna merah darah.  

Aku melangkah perlahan. Membungkukkan badan dan menyentuh punggung Sarlita, maduku. Lalu beralih ke punggung suamiku. Terasa dingin dan beku.

"Perempuan hebat! Perempuan pintar!" silih berganti suara setan memujiku. Memekakkan gendang telingaku. 

Dan suara-suara itu baru berhenti ketika beberapa orang polisi datang memborgol tanganku. 

Sementara di sudut kamar--botol kosong bekas racun tikus menari-nari. Melompat-lompat riang sembari menyanyikan hymne kematian dengan suara sumbang.

***

Malang, 10 Februari 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun