"Anak ini wetonnya tinggi. Sabtu Pahing," aku mengomel.
"Memang apa hubungannya?" Mas Ikrom menatapku sembari tersenyum.
"Sabtu Pahing memiliki watak yang keras kepala, sulit ditenangkan," sahutku kesal.
"Oh, ya? Aku lahir Sabtu Pahing juga. Tapi aku tidak keras kepala. Aku penyabar dan penyayang," Mas Ikrom tertawa seraya menyentil hidungku. Tentu saja aku terkejut mendengar pengakuannya.
"Jadi Mas Ikrom berbohong soal weton lahir Selasa Pahing itu?" aku mendelik ke arah suamiku. Ia mengangguk.
"Demi mendapatkan gadis jelita sepertimu..."
"Sebentar Mas! Hitungan neptu kita jadi berubah nih! Weton 11 ditambah 18 jumlahnya 29. Dibagi 5 sisa 4. Duuh...jatuh ke  punggel,  Mas!" aku berseru gusar. Punggel itu artinya mati.
"Sudahlah, Diajeng. Jangan terlalu percaya pada primbon. Hidup mati seseorang itu di tangan Gusti Allah," Mas Ikrom meraih pundakku. Memelukku erat. Berusaha menenangkan kepanikanku.
Sementara tanpa sengaja mataku melihat ke arah Nifsah yang sedang asyik bermain di pojok kamar.
Astaga, Nduk! Kenapa primbon tua peninggalan Uti kau gunting berkeping-keping?
***