Aku menghampiri Uti. Agak kikuk sikapku ketika Uti memintaku untuk duduk di sampingnya.
"Ikrom tadi bertanya ke Uti mengenai hitung-hitungan weton kelahiran. Aku suruh bertanya ke kamu dia tidak mau. Malu katanya," Uti menoleh ke arah Mas Ikrom.
"Tanya ke Uti kan sama saja. Bahkan Uti jauh lebih pintar dari Ajeng," aku menyahut.
"Masalahnya bukan itu, Jeng. Ikrom ini ternyata lahir di hari yang baik. Selasa Pahing," lanjut Uti.
"Selasa 3, Pahing 9. Jadi 12," aku menyahut lagi.
"Cocok sekali, Nduk. Neptumu 11 ditambah neptunya Ikrom 12 jumlahnya 23. Kalau dibagi 5 sisa 3, itu berarti..."
"Barokah dan banyak rezeki," aku menimpali.
"Nah, tunggu apa lagi? Ikrom ini jodoh yang dikirim Gusti Allah buatmu. Uti merestuimu, Jeng."
Sesingkat itu aku berjodoh dengan Mas Ikrom. Selang satu bulan kemudian kami menikah.
Kini usia pernikahan kami sudah melewati tahun ketujuh. Aku sudah menjadi seorang Ibu dari bocah mungil berusia 5 tahun. Dan Uti kesayangan sudah meninggal setahun usai aku melahirkan.
Ada rahasia kecil yang tanpa sengaja terbongkar ketika suatu malam aku membicarakan Nifsah, putri kecil kami yang belum juga mau tidur.