"Ajeng sudah memutuskan hubungan dengannya. Weton lahir kami tidak cocok, Uti. Handoko lahir pada hari Kamis Legi. Neptunya 13 dan aku Senin Pon neptuku 11. Jika dijumlahkan angkanya menjadi 24. Angka itu jika dibagi 5 akan tersisa 4. Bukankah sisa yang 4 itu artinya pati?" aku menatap Uti tak berkedip. Perempuan sepuh yang tubuhnya kian renta itu manggut-manggut.
"Lalu dengan Hasanudin? Tidak cocok juga?" Uti menatapku lagi.
"Hasanudin lahir pada hari Rabu Wage. Neptunya sama denganku. Kalau dijumlah dan dibagi 5 akan bersisa 2. Uti tahu kan apa artinya itu?" aku tersenyum ke arah Uti.
"Iya, Nduk. Menurut catatan primbon kalau kalian memaksa menikah, maka akan mempunyai banyak anak. Itu sungguh tidak baik. Di zaman seperti ini, di mana harga beras terus melonjak, punya banyak anak akan merepotkan. Â Mau dikasih makan apa nanti anak-anakmu? Singkong? Tiwul?"
Aku tertawa.
Ada untungnya juga mempelajari primbon milik Uti. Aku jadi lebih berhati-hati.
***
Sore itu aku melihat Mas Ikrom, tetangga yang rumahnya tak seberapa jauh berjalan tergesa mendatangi rumahku. Mas Ikrom mengenakan sarung dan baju koko serta kopiah berwarna hitam. Sepertinya ia baru usai menunaikan sholat Ashar.
"Jeng, Eyang Putri ada?" pemuda itu bertanya padaku.
"Ada Mas Ikrom, di ruang tengah. Sedang menikmati susur-nya," aku menjawab sambil lalu. Mas Ikrom langsung masuk ke dalam rumah menemui Uti. Kudengar mereka mengobrol. Cukup lama. Hingga menjelang Magrib baru terdengar suara Uti memanggilku.
"Ajeng! Cepat ke sini!"