Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dongeng | Klenting Kuning dan Sebuah Ciuman

8 November 2017   07:23 Diperbarui: 8 November 2017   09:12 10832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kebaya |Explore on DeviantArt/ www.deviantart.com

Sepagi ini Ande-ande Lumut sudah duduk bersila di atas tikar yang digelar di pendhaparumah panggung. Mbok Rondho Dhadapan, Ibunda angkatnya baru saja menyampaikan berita bahwa sebentar lagi akan datang empat orang putri yang hendak  mengunggah-unggahi  dirinya.

"Jangan sampai salah pilih, ya, Thole. Ini kesempatan baik bagimu untuk memilih calon pendamping," demikian Ibunda angkat mewanti-wanti. Ande-ande Lumut mengangguk takzim.

Sementara di desa seberang, empat orang putri sudah selesai berhias dan siap berangkat menuju Desa Dhadapan. Keempatnya tampil dengan style  yang berbeda.

Putri tertua, Klenting Abang, berkebaya merah, bergincu dan menyapukan perona pipi warna senada dengan busana yang dikenakannya. Ia menggelung rambut panjangnya sedemikian rupa membentuk cepol yang manis. Dihiasinya cepol itu dengan sebuah cunduk mentul.

Putri kedua, Klenting Ijo, memakai kebaya hijau tosca. Memoleskan bedak agak tebal pada wajah dan menyematkan sekuntum bunga kecubung di atas cuping telinga kirinya. Rambut panjangnya dipilin membentuk kepang-kepang yang bagus.

Putri ketiga, Klenting Biru, memadu-padankan kebaya warna biru dengan bros besar berbentuk bunga teratai. Melukis alis runcing dan melengkung bak bulan sabit. Rambutnya yang sebahu disasak tinggi menyerupai sarang burung emprit.

Ketiga putri tampil sangat menawan.

Kecuali Klenting Kuning. Ia tidak berniat menyapukan bedak sedikit pun pada wajahnya yang cantik. Ia bahkan mencoreng moreng pipi dan dagunya dengan jelaga yang diambil dari pantat dandang. Ia juga membiarkan rambut panjangnya terurai begitu saja, acak-acakan. 

Tentu saja penampilan anehnya itu membuat ketiga kakak angkatnya tertawa terpingkal-pingkal tiada henti.

Tapi Klenting Kuning mengabaikan ejek tawa itu. Ia sudah memutuskan---harus berani tampil beda. Dan itu membuatnya jauh merasa lebih nyaman.

Untuk bisa mencapai Desa Dhadapan, keempat Klenting mesti melewati perbatasan berupa sungai lebar yang arusnya cukup deras. Tidak ada tukang perahu magang di sana. Satu-satunya juru seberang yang bisa ditemui adalah seekor kepiting raksasa yang sudah lama menjadi penghuni sungai itu, bertahun-tahun. Dan keempat putri sangat bergantung kepadanya.

"Antarkan kami sampai ke seberang, duhai Kangmas Yuyu Kangkang," Klenting Abang menjadi juru bicara adik-adiknya. Kepiting raksasa yang tengah berjemur di pinggir sungai seketika membelakkan mata. Ia takjub sekaligus senang melihat empat mahluk indah berdiri berjejer di hadapannya. Oh, tidak, ia mengucek kedua matanya---bukan empat, melainkan tiga. Satu mahluk berwajah coreng moreng membuatnya jengah.

"Aku akan mengantarkan kalian---hanya kalian bertiga. Tidak untuk yang satu gadis itu," kepiting raksasa merayap perlahan menghampiri Klenting Abang, Klenting Ijo dan Klenting Biru. Ia sama sekali tidak menggubris keberadaan Klenting Kuning.

"Panjenengan sudah mendiskriminasi saya. Saya bisa saja melaporkan perlakuan tidak adil ini ke Komnas HAM," Klenting Kuning yang merasa dianaktirikan menatap tajam ke arah Yuyu Kangkang.

"Aku punya alasan menolakmu, Gendhukjelek! Dengar---untuk menyeberangkan kalian, aku meminta upah yang tidak biasa."

"Oh, ya? Apakah itu?" Klenting Kuning mengernyit alis.

"Sebuah ciuman. Dan tentu saja aku tidak berharap menerima upah itu darimu," kepiting raksasa tertawa terbahak. 

"Mengapa harus ciuman?" Klenting Abang menyela kikuk. Wajahnya yang bulat bersemu merah.

"Bisakah kami menggantinya dengan upah yang lain?" Klenting Ijo menimpali.

"Kami bisa memberi upah Kangmas beberapa koin emas," Klenting Biru ikut menyahut. 

"Jika kalian merasa keberatan dengan syarat yang kuajukan, ya, sudahlah. Aku tidak akan memaksa," kepiting raksasa merasa berada di atas angin. Ia pura-pura bersiap hendak pergi.

"Oh, Kangmas, tunggu dulu! Baiklah, kami bersedia membayar upah sesuai dengan yang Kangmas mau," Klenting Abang terpaksa menyanggupi. Ia tidak ingin gagal bertemu Ande-ande Lumut. Demikian pula kedua adiknya. Mereka rela meluluskan permintaan hewan raksasa penunggu sungai itu.

Singkat cerita, ketiga putri berhasil sampai di seberang dengan selamat. Mereka pun segera melenggang meneruskan perjalanan.

Sementara Klenting Kuning masih berdiri termangu. Menatap aliran sungai yang deras sembari terus berpikir, bagaimana caranya agar ia bisa melintas sampai ke seberang.

"Benar panjenengantidak berkenan menolong saya?" ia bertanya sekali lagi kepada kepiting raksasa yang meringkuk tidak jauh darinya. Hewan bercapit itu tidak menyahut---telinganya pura-pura tidak mendengar.

"Baiklah. Saya kira percuma terlalu berharap kepada mahluk  dreman  seperti panjenengan. Saya sudah memutuskan, dengan amat terpaksa---saya harus melakukan tindakan frontal ini," Klenting Kuning merogoh dadanya, mengeluarkan sebuah  pusaka berbentuk lidi yang disebut sodo lanang  dan mengacungkan benda bertuah  pemberian Dewa Wisnu itu ke arah arus sungai.

Sejenak bibir mungil Klenting Kuning berkomat-kamit.

Jleegeerr!

Tiba-tiba kilat menyambar membelah langit. Hal aneh pun terjadi. Arus sungai yang semula deras mendadak berhenti mengalir. Airnya membeku, berubah menjadi bongkahan es. Kepiting raksasa yang tengah berada di tengah sungai tidak sempat menyelamatkan diri, tubuhnya terhimpit.

Klenting Kuning tersenyum. Ia berjalan lenggang kangkung di atas permukaan sungai yang mengeras. Ia sama sekali tidak memedulikan rintih kesakitan kepiting raksasa yang sesungguhnya adalah jelmaan musuh yang selama ini tak henti mengejarnya.

***

Raden Panji Inu Kertapati alias Ande-ande Lumut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Ia bahkan menolak bertemu ketiga Klenting yang sudah bersusah payah ingin melamarnya.

Bukan mereka yang tengah ditunggunya. 

Mbok Rondho Dhadapan yang duduk mendampingi sempat terheran-heran, apa sebab anak angkatnya itu tidak berkenan menerima gadis-gadis cantik itu? Gadis-gadis yang akhirnya pulang dengan wajah kecewa.

"Mengapa Thole menolak bertemu mereka? Bukankah mereka gadis-gadis yang jelita?"

"Ketiga gadis itu tidak mampu mempertahankan marwah mereka. Mereka rela menjual kehormatan hanya demi mendapatkan apa yang diinginkan. Saya mencium bau anyir Yuyu Kangkang, terutama pada pipi mulus gadis-gadis cantik itu," Ande-ande Lumut mengemukakan alasan seraya mengulum senyum. Mbok Rondho Dhadapan diam tercenung.

Dan harap-harap cemas pada sebuah penantian panjang pun berakhir. Penguasa Kerajaan Kediri yang tengah menyamar menjadi Ande-ande Lumut itu gegas berdiri, menyongsong istri tercintanya---Dewi Galuh Candra Kirana yang baru saja tiba.

"Dinda! Dinda Dewi!" Raden Panji tidak mampu lagi menyembunyikan rasa rindu dan kegembiraannya. Tangannya yang kekar terulur, merengkuh pundak sang kekasih hati.

"Kangmas Panji, tunggu! Jangan dulu menciumku. Bisakah Kangmas memberitahu di mana aku bisa membersihkan wajahku yang coreng moreng ini?"

***

Malang, 08 Nopember 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun