Singkat cerita, ketiga putri berhasil sampai di seberang dengan selamat. Mereka pun segera melenggang meneruskan perjalanan.
Sementara Klenting Kuning masih berdiri termangu. Menatap aliran sungai yang deras sembari terus berpikir, bagaimana caranya agar ia bisa melintas sampai ke seberang.
"Benar panjenengantidak berkenan menolong saya?" ia bertanya sekali lagi kepada kepiting raksasa yang meringkuk tidak jauh darinya. Hewan bercapit itu tidak menyahut---telinganya pura-pura tidak mendengar.
"Baiklah. Saya kira percuma terlalu berharap kepada mahluk  dreman seperti panjenengan. Saya sudah memutuskan, dengan amat terpaksa---saya harus melakukan tindakan frontal ini," Klenting Kuning merogoh dadanya, mengeluarkan sebuah  pusaka berbentuk lidi yang disebut sodo lanang  dan mengacungkan benda bertuah  pemberian Dewa Wisnu itu ke arah arus sungai.
Sejenak bibir mungil Klenting Kuning berkomat-kamit.
Jleegeerr!
Tiba-tiba kilat menyambar membelah langit. Hal aneh pun terjadi. Arus sungai yang semula deras mendadak berhenti mengalir. Airnya membeku, berubah menjadi bongkahan es. Kepiting raksasa yang tengah berada di tengah sungai tidak sempat menyelamatkan diri, tubuhnya terhimpit.
Klenting Kuning tersenyum. Ia berjalan lenggang kangkung di atas permukaan sungai yang mengeras. Ia sama sekali tidak memedulikan rintih kesakitan kepiting raksasa yang sesungguhnya adalah jelmaan musuh yang selama ini tak henti mengejarnya.
***
Raden Panji Inu Kertapati alias Ande-ande Lumut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Ia bahkan menolak bertemu ketiga Klenting yang sudah bersusah payah ingin melamarnya.
Bukan mereka yang tengah ditunggunya.Â