"Antarkan kami sampai ke seberang, duhai Kangmas Yuyu Kangkang," Klenting Abang menjadi juru bicara adik-adiknya. Kepiting raksasa yang tengah berjemur di pinggir sungai seketika membelakkan mata. Ia takjub sekaligus senang melihat empat mahluk indah berdiri berjejer di hadapannya. Oh, tidak, ia mengucek kedua matanya---bukan empat, melainkan tiga. Satu mahluk berwajah coreng moreng membuatnya jengah.
"Aku akan mengantarkan kalian---hanya kalian bertiga. Tidak untuk yang satu gadis itu," kepiting raksasa merayap perlahan menghampiri Klenting Abang, Klenting Ijo dan Klenting Biru. Ia sama sekali tidak menggubris keberadaan Klenting Kuning.
"Panjenengan sudah mendiskriminasi saya. Saya bisa saja melaporkan perlakuan tidak adil ini ke Komnas HAM," Klenting Kuning yang merasa dianaktirikan menatap tajam ke arah Yuyu Kangkang.
"Aku punya alasan menolakmu, Gendhukjelek! Dengar---untuk menyeberangkan kalian, aku meminta upah yang tidak biasa."
"Oh, ya? Apakah itu?" Klenting Kuning mengernyit alis.
"Sebuah ciuman. Dan tentu saja aku tidak berharap menerima upah itu darimu," kepiting raksasa tertawa terbahak.Â
"Mengapa harus ciuman?" Klenting Abang menyela kikuk. Wajahnya yang bulat bersemu merah.
"Bisakah kami menggantinya dengan upah yang lain?" Klenting Ijo menimpali.
"Kami bisa memberi upah Kangmas beberapa koin emas," Klenting Biru ikut menyahut.Â
"Jika kalian merasa keberatan dengan syarat yang kuajukan, ya, sudahlah. Aku tidak akan memaksa," kepiting raksasa merasa berada di atas angin. Ia pura-pura bersiap hendak pergi.
"Oh, Kangmas, tunggu dulu! Baiklah, kami bersedia membayar upah sesuai dengan yang Kangmas mau," Klenting Abang terpaksa menyanggupi. Ia tidak ingin gagal bertemu Ande-ande Lumut. Demikian pula kedua adiknya. Mereka rela meluluskan permintaan hewan raksasa penunggu sungai itu.