Eurus. Entah siapa yang memberinya nama seperti itu. Mom tidak pernah mengatakannya. Aku juga tidak terlalu tertarik untuk menanyakannya---kecuali setelah aku menyadari bahwa kakak perempuanku itu memiliki perilaku yang agak aneh.
Ia suka menyendiri. Menghindari berinteraksi dengan orang lain. Jarang sekali bicara, kecuali denganku dan Mom.
 "Jangan seperti gadis bisu, Eurus," aku sering mengingatkannya. Ya, aku memang harus selalu mengingatkannya. Sebab sering kudengar teman-teman sekolah mengoloknya seperti itu. Si gadis bisu.
"Kau perlu berkomunikasi dengan teman-temanmu, Eurus. Juga dengan guru-guru di sekolahmu," aku menambahkan.
"Kau tahu aku lebih cerdas dari siapa pun, John. Jadi untuk apa aku banyak bicara?" Ia berkata tanpa melihatku. Matanya asyik tertuju pada benda di tangannya. Benda tajam berkilau.Â
"Eurus! Apa yang kau lakukan?" sigap aku merampas pisau dari tangannya. Huft, hampir saja aku terlambat. Pisau tajam berkilat itu sempat menggores pergelangan tangan kirinya sedikit.
"Kau seharusnya membiarkanku, John. Tidak mencegahku."
"Pisau itu bisa melukaimu, Eurus! Urat nadimu bisa putus dan kau---bisa mati."
"Mati? Oh, John, aku hanya ingin tahu, ada apa di dalam rangkaian nadiku ini," ia menunjukkan pergelangan tangan kirinya yang memerah dengan mimik tenang dan sorot mata tanpa ekspresi.
Melihatnya seperti itu aku bergidik. Ia terlihat begitu dingin dan menakutkan. Aku semakin yakin, kakakku itu mengidap sesuatu---yang membutuhkan penanganan khusus.
Aku lantas membicarakan perihal Eurus dengan Mom. Kukira Mom sudah mengetahuinya. Tapi Mom memberi tanggapan yang agak mengecawakanku.
"Eurus tidak menderita penyakit apa pun, John. Jangan khawatir."
"Mom, ini serius. Eurus berkali-kali mencoba melakukan hal-hal yang membahayakan. Ingat dua hari lalu? Ia mengikat Bruno dengan tali rafia dan memasukkannya ke dalam sumur. Untung aku melihatnya. Kalau tidak, anjing itu pasti sudah mati."
"Eurus hanya ingin tahu, apakah anjing bisa bertahan lebih lama berada di dalam sumur dibanding manusia," Mom justru membela Eurus.
"Kalau hal ini dibiarkan, pasti ia akan melakukannya lagi. Aku yakin itu. Dan kukira bukan Bruno yang akan diikatnya."
"Maksudmu?"
"Bisa saja ia mengikat salah satu dari kita, Mom. Lalu dengan wajah dingin ia mencemplungkan kita ke dalam sumur."
Mom terjengah.
***
Eurus satu sekolah denganku. Ia duduk di kelas 8, setingkat lebih tinggi dariku. Pada jam-jam tertentu aku harus selalu memantau dan mengawasinya, apakah ia tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya atau orang lain seperti yang kerap dilakukannya di rumah.
Pernah sekali waktu aku memergokinya sedang berdiri di depan pintu kamar mandi khusus para guru.
"Apa yang akan kau lakukan di sini?" tanyaku curiga. Melihat kedatanganku, tangannya yang kurus dengan tenang memasukkan sesuatu ke dalam saku seragamnya.
"Aku hanya ingin bereksperimen, John. Hanya ingin tahu. Berapa lama orang dewasa mampu bertahan di dalam ruang tertutup yang dialiri gas beracun." Ia mengibaskan ujung lengan kemejanya. "Tapi John---lagi-lagi kau menghalangiku," ia menatapku sejenak. Lalu mengayun langkah, meninggalkanku menuju kelas.
Eurus. Sepertinya aku harus memaksa Mom agar membawanya ke psikiater. Kalau tidak....
Dan syukurlah, kali ini Mom mau mendengarku.
Sore itu juga Mom berniat membawa kakakku itu bertemu dengan psikater yang sudah dihubungi. Tapi Eurus menolak.
"Mom, aku tidak sakit."
"Kau memerlukan seorang ahli untuk berkonsultasi, dear," Mom membujuknya. Eurus terdiam, tak bergerak seinci pun dari tempat duduknya. Sudut matanya mengarah kepadaku.
"John, apakah kau yang mempengaruhi Mom agar aku melakukan test kesehatan mental ini?"
"John hanya menyarankan, Eurus," Mom membelaku. Kulihat sekelebat mata Eurus berkilat. Tapi akhirnya ia menyerah juga. Ia berdiri mengikuti Mom menuju mobil.
Aku masuk ke dalam kamar, duduk di depan laptop yang sejak tadi kubiarkan menyala. Tugas dari sekolah menumpuk. Aku harus menyelesaikannya hari ini juga.
Tanganku meraih mousedan siap mengklik file berisi dokumen ketika mendadak hidungku menangkap bau yang aneh. Bau gas yang menyengat.
Earus! Ia telah mengunciku dari luar.
Seketika aku berlari menuju jendela. Berusaha membuka daunnya yang terkatup rapat. Tidak bisa! Aku mencoba mendorongnya sekali lagi. Tetap tidak bisa. Daun jendela seperti terganjal sesuatu yang berat dan kuat.
Saat mencari benda yang bisa kupergunakan untuk memukul kaca jendela, mataku tertumbuk pada secarik kertas di bawah pintu.
John. Selamat berjuang. Aku hanya ingin tahu. Jika adik laki-lakiku terkunci di dalam kamar dengan aliran gas beracun, apakah ia bisa menolong dirinya sendiri? Â
***
Malang, 30 September 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H