"Bli Made, pernahkah cintamu ditolak mentah-mentah oleh seorang perempuan?" Julian membalas tatapanku tajam. Aku menggeleng.
"Pantas saja," dia mencibir. Wajahnya yang putih menegang. Otot-otot rahangnya menonjol keluar.
"Pieter harus kuhancurkan! Dia telah merampas Ni Kadek dariku!" suaranya bergetar penuh kebencian.
"Kau tidak bisa memaksa Ni Kadek menerima cintamu, Julian. Kau bertindak jahat jika nekat melakukannya," aku mengingatkannya. Tapi kelihatannya Julian tidak mau mendengarku.
"Lalu apa yang kau katakan pada Pieter sehingga ia pergi meninggalkan istrinya?" aku mulai bisa membaca pikiran licik laki-laki di hadapanku itu.
"Aku puas bisa membuat laki-laki brengsek itu meninggalkan Ni Kadek!" Julian terkekeh. Wajahku mulai memerah. Ingin sekali aku meninjunya saat itu juga.
"Cepat katakan  padaku, apa yang kau ucapkan pada Pieter?" nada suaraku mulai meninggi.
"Tenang, Bli Made, aku hanya mengatakan hal sepele. Aku bilang kepada Pieter, mm...sebelum menjadi istrinya, aku telah merenggut keperawanan Ni Kadek," laki-laki itu terkekeh lagi.
"Kau!" aku menggeram.
"Dan Pieter bodoh pencemburu itu percaya begitu saja terhadap omong kosongku," Julian menatapku santai. Sorot matanya menyiratkan kepuasaan. Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku merangsek maju, dan kulayangkan tinjuku bertubi-tubi ke wajahnya yang putih itu.
Julian terjengkang. Ia mengerang sebentar. Kutambahkan satu pukulan lagi. Kali ini ia tidak sempat mengerang. Ia tersungkur di lantai.