Bukankah penyeberang jalan yang hampir tertabrak itu adalah si pedagang asongan yang sedang kami cari? Aku bisa mengenalinya dari selendang lusuh yang berjumbai menutupi wajahnya.
"Stop! Berhenti!" aku berseru.
"Ada apa, Nak?" Papi menoleh ke arahku. Aku memajukan dudukku sedikit. Memastikan penglihatanku tidak salah.
"Kita menemukan orang itu! Pedagang asongan itu!" seruku yakin dan setengah gugup. "Cepat! Laki-laki yang hampir tertabrak itulah orangnya!"
Papi dan Bapa Made saling berpandangan. Sopir segera tanggap. Mobil pun menepi dan berhenti tak jauh dari trotoar. Kami bertiga bergegas turun untuk mengejar laki-laki berselubung selendang itu.
Jalanan semakin ramai. Banyak orang berkerumun dan berlalu lalang.
"Ada upacara Mapeed, Jansen!" Bapa Made yang berjalan paling depan menoleh ke arahku. Sejenak aku menghentikan langkah. Menatap iring-iringan yang muncul dari kejauhan. Suatu pemandangan yang unik. Barisan Ibu-ibu mengenakan kebaya adat berwarna putih dipadu dengan sarung khas Bali menyunggi gebongan berisi rangkaian buah yang dihias sedemikian rupa. Sangat indah dan artistik.Â
Untuk beberapa lama aku terkesima.
Bali memang memiliki beragam keunikan yang menawan.
Kulihat Papi juga ikut berhenti.
"Mapeed adalah upacara ritual umat Hindu, Zoon. Tujuannya untuk  mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi," tanpa kuminta Papi menjelaskan padaku. Kami berdua berdiri berdampingan di seberang jalan. Menyaksikan iring-iringan panjang itu melintas di hadapan kami.