Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [11]

13 Agustus 2017   07:31 Diperbarui: 22 Agustus 2017   18:45 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: imgrum.org/user/christianwalpole

 Kisah sebelumnya Novel | Jejak Sang Penari [10]

Bag.11-Mengejar Bayangan

Antara kecewa dan putus asa, kami meninggalkan rumah kontrakan I Nyoman Sukrawan. Papi berjalan terhuyung di samping Bapa Made. Sementara aku mengikuti mereka dengan langkah berat menuju taksi.

"Kita kembali ke penginapan," Papi berkata kepada sopir taksi, suaranya nyaris tak terdengar. Sopir pun segera tanggap.

Sepanjang perjalanan kami saling membisu. Terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sesekali Papi membuang pandang ke jalanan melalui jendela mobil yang dibiarkan terbuka sedikit. Siang mulai menggeliat, udara terasa gerah. 

Saat melintas di jalan raya yang agak menikung, sopir mengerem mobil secara mendadak. Suara roda mendecit membuat kami yang duduk di jok belakang terdorong maju.

"Hati-hati kalau menyeberang!" sopir taksi menghardik seseorang yang melintas tepat di depan badan mobil. Orang itu hampir saja tertabrak. Sopir menurunkan kaca mobil dengan kasar, melongokkan wajahnya keluar jendela dan memencet klakson keras-keras.

Penyeberang jalan itu berlari terbirit-birit.

"Banyak orang tidak menghargai nyawa mereka sendiri," keluh sopir sembari menoleh ke arah kami.

"Pengguna jalan memang terkadang kurang hati-hati. Mereka berjalan sambil melamun," sahut Bapa Made. Aku ikut melayangkan pandangku. Mengikuti penyeberang jalan yang tampak terburu-buru itu.

Aku baru saja ingin menimpali ucapan Bapa Made ketika tiba-tiba mataku menangkap sesuatu.

Bukankah penyeberang jalan yang hampir tertabrak itu adalah si pedagang asongan yang sedang kami cari? Aku bisa mengenalinya dari selendang lusuh yang berjumbai menutupi wajahnya.

"Stop! Berhenti!" aku berseru.

"Ada apa, Nak?" Papi menoleh ke arahku. Aku memajukan dudukku sedikit. Memastikan penglihatanku tidak salah.

"Kita menemukan orang itu! Pedagang asongan itu!" seruku yakin dan setengah gugup. "Cepat! Laki-laki yang hampir tertabrak itulah orangnya!"

Papi dan Bapa Made saling berpandangan. Sopir segera tanggap. Mobil pun menepi dan berhenti tak jauh dari trotoar. Kami bertiga bergegas turun untuk mengejar laki-laki berselubung selendang itu.

Jalanan semakin ramai. Banyak orang berkerumun dan berlalu lalang.

"Ada upacara Mapeed, Jansen!" Bapa Made yang berjalan paling depan menoleh ke arahku. Sejenak aku menghentikan langkah. Menatap iring-iringan yang muncul dari kejauhan. Suatu pemandangan yang unik. Barisan Ibu-ibu mengenakan kebaya adat berwarna putih dipadu dengan sarung khas Bali menyunggi gebongan berisi rangkaian buah yang dihias sedemikian rupa. Sangat indah dan artistik. 

Untuk beberapa lama aku terkesima.

Bali memang memiliki beragam keunikan yang menawan.

Kulihat Papi juga ikut berhenti.

"Mapeed adalah upacara ritual umat Hindu, Zoon. Tujuannya untuk  mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi," tanpa kuminta Papi menjelaskan padaku. Kami berdua berdiri berdampingan di seberang jalan. Menyaksikan iring-iringan panjang itu melintas di hadapan kami.

Mapeed, dok.detik.com
Mapeed, dok.detik.com
Sejenak pengejaran kami terhadap pedagang asongan itu teralihkan. Untunglah Bapa Made langkahnya lebih sigap. Ia sudah berada jauh meninggalkan kami. Suaranya yang berat berseru lantang.

"Tunggu! Hei, tunggu!" Bapa Made berusaha memanggil orang yang dikejarnya itu.

Iring-iringan Mapeed tak kunjung putus. Sangat panjang. Aku dan Papi harus mengalah. Kami hanya berdiri mematung, menunggu apakah Bapa Made berhasil melakukan pengejaran terhadap orang itu.

Tapi pengejaran Bapa Made ternyata tidak membuahkan hasil. Laki-laki buruannya menghilang di antara kerumunan orang-orang yang menyemut.

"Sebaiknya kita sudahi saja pencarian yang sia-sia ini dan kembali ke penginapan," Papi merangkul pundakku, nada suaranya menyimpan keputusasaan. Aku tidak ingin berkomentar apa-apa. Aku tahu Papi sama kecewanya dengan diriku.

Bapa Made pun ikut membisu.

"Pi, jangan menyerah! Kita harus berhasil menemukan Ibu!" seruku tiba-tiba, menguatkan diriku sendiri.

Bersambung......

***

Malang, 13 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun