Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [7]

9 Agustus 2017   06:44 Diperbarui: 22 Agustus 2017   18:00 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah sebelumnya Novel | Jejak Sang Penari [6]

Bag.7-Pasien Kamar Sebelah

Untuk sementara aku harus pasrah terhadap nasibku, menginap beberapa hari lagi di kamar yang berbau obat-obatan. Aku belum diperbolehkan meninggalkan Rumah Sakit karena kondisiku yang belum stabil. Kadang suhu badanku turun, kadang naik. Itulah sebab aku masih harus istirahat di tempat tidur.

Malam semakin bergulir. Tapi mataku belum juga mengantuk. Pikiranku kembali mengembara ke mana-mana.

Suara derit pintu disusul langkah seseorang membuatku memiringkan kepala sedikit.

Suster jaga. Waktunya ia memeriksa cairan infusku.

"Pukul berapa sekarang, Suster?" tanyaku lirih.

"Masih tengah malam. Pukul satu lebih sedikit." Suster menyibak selimut yang menutupi dadaku, menyelipkan termometer di sebalik lenganku. "Kenapa belum tidur? Usahakan bisa tidur, ya. Supaya kondisimu segera membaik."

Aku mengangguk. Meski aku tahu, sulit melaksanakan janjiku itu. Sebab mataku seirama dengan pikiranku.

"Suster? Bagaimana kabar pasien kamar sebelah?" aku sengaja memecah kesunyian. Suster yang tengah merapikan selang infus berhenti sejenak.

"Pasien yang mana?"

"Pasien yang tadi pagi berteriak-teriak histeris itu."

"Oh, ia memang begitu."

"Tadi ia sempat mampir ke sini."

"Benarkah? Apa yang dilakukannya?"

"Ia mengeluhkan tentang penyakit yang dideritanya. "

"Abaikan saja. Sekarang istirahatlah. Besok pagi-pagi sekali Dokter Suastika akan memeriksa perkembangan kesehatanmu." Suster mengingatkan seraya menarik kembali termometer dari lipatan lenganku. Memeriksanya sebentar lalu membetulkan letak selimutku.

"Panasnya hanya turun sedikit. Banyak minum air putih, ya."

Aku mengangguk.

"Oh, ya, satu lagi. Jangan memikirkan perkataan pasien kamar sebelah itu. Pikirkan saja kesehatanmu sendiri."

Usai berpesan begitu Suster bergegas meninggalkan ruangan dan menutup pintu kamar dengan halus.

***

Aku kembali sendiri. Pikiranku berkecamuk. Ingin sekali aku menuruti nasehat yang baru saja kudengar, mengabaikan keluh kesah pasien kamar sebelah itu. Tapi mana mungkin? 

"Apakah dokter sudah menyampaikan tentang penyakitmu?" terngiang kembali suara laki-laki itu. Aku menggeleng.

"Semoga dokter segera mengatakannya padamu. Jangan sampai mengalami hal seperti aku." Ia tersenyum kecut.

"Apa yang terjadi pada Bli?" aku sengaja memanggilnya Bli untuk menciptakan suasana lebih akrab.

"Aku adalah pasien terlama di rumah sakit ini. Aku menderita penyakit yang aneh." Laki-laki itu menyelonjorkan kakinya yang kurus. "Badanku dulu tidak sekurus ini. Aku ini seorang olahragawan. Jadi aku sangat memperhatikan kesehatanku. Tapi sejak dua tahun lalu aku merasakan perubahan pada diriku. Badanku semakin susut dan napsu makanku hilang. Daya tahan tubuhku menurun drastis. Aku gampang sakit. Apalagi saat perubahan cuaca."

Laki-laki itu menyipitkan matanya. Sementara aku menyimak semua keluh kesahnya dengan bersungguh-sungguh. Entah mengapa gejala sakit yang ia rasakan sama persis dengan yang aku alami.

"Aku sering keluar masuk Rumah Sakit. Aku curiga, sebenarnya dokter sudah tahu apa penyakitku, tapi sengaja tidak mengatakannya kepadaku," laki-laki itu melanjutkan kalimatnya dengan wajah murung.

"Semoga Bli cepat sembuh," ujarku bersimpati.

"atau---cepat mati," ia memotong perkataanku dengan tatapan kosong.

"Bli tidak boleh putus asa begitu. Bli  harus tetap semangat!"  aku berkata seolah kalimat itu kutujukan untuk diriku sendiri.

"Usaha apa yang akan engkau lakukan jika penyakit yang kamu derita tak kunjung sembuh?" laki-laki itu berbalik menatapku. Aku terdiam.

"Meski dokter belum menyampaikan apa-apa, tapi aku sudah bisa menebak penyakitku sendiri. Aku pasti positip terkena Virus HIV, " suaranya bergetar. Aku terperangah. Kupandangi ia dengan seksama. Dadaku berdegup. Oh, lelaki itu, wajahnya pucat, pipi dan matanya cekung kehitam-hitaman.

"Bli..." entah mengapa aku tiba-tiba merasa sangat takut. Melihat kondisinya seolah aku melihat diriku sendiri.

Apakah aku juga mengidap HIV seperti laki-laki itu?

Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku.

Derit pintu membuyarkan ingatanku. 

Kiranya hari sudah pagi. 

Bapa Made masuk dengan wajah menyimpan kesal.

"Tidurmu pasti terganggu oleh keributan di kamar sebelah itu, Jansen. Entah apa yang terjadi. Sepertinya pasien itu tengah memarahi istrinya," Bapa Made berkata seraya membantuku duduk. Aku menajamkan telingaku. Benar. Terdengar teriakan sumpah serapah berkali-kali.

"Sejak kemarin orang itu marah-marah, Bapa."

"Ia marah setiap kali istrinya datang. Begitu menurut perawat yang sempat berpapasan denganku."

Bapa Made baru saja hendak melanjutkan kalimatnya ketika dokter yang menanganiku masuk dan siap memeriksa kesehatanku pagi ini.

***

Usai menjalani pemeriksaan, ditemani Bapa Made aku berjemur di taman yang terletak tepat di depan kamarku.

Kupilih sebuah bangku yang menghadap ke arah terbit matahari. Sinar pagi yang hangat cukup membuatku merasa lebih baik. Dua hari meringkuk di dalam kamar, sungguh teramat membosankan. 

"Selamat pagi perjaka bule..." sebuah teguran membuatku menoleh. Pasien kamar sebelah itu sudah berdiri di belakangku.

"Jangan ganggu dia!" Bapa Made maju beberapa langkah. Tatapannya tajam tertuju pada orang yang baru datang itu.

"Anda bodyguard anak muda ini?" pasien kamar sebelah itu balas menatap Bapa sembari tertawa. Nada suaranya penuh ejekan.

"Jaga mulut kotormu! Kalau tidak ingat kamu sedang sakit, ingin rasanya kutinju wajah jelekmu itu!" Bapa Made sepertinya mulai kehilangan kesabaran. Dengan sigap ia merangkul pundakku.

"Kita kembali ke kamarmu saja, Jansen. Sebelum pasien tidak waras ini membuatku naik pitam."

Bersambung....

***

Malang, 09 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun