"Meski dokter belum menyampaikan apa-apa, tapi aku sudah bisa menebak penyakitku sendiri. Aku pasti positip terkena Virus HIV, " suaranya bergetar. Aku terperangah. Kupandangi ia dengan seksama. Dadaku berdegup. Oh, lelaki itu, wajahnya pucat, pipi dan matanya cekung kehitam-hitaman.
"Bli..." entah mengapa aku tiba-tiba merasa sangat takut. Melihat kondisinya seolah aku melihat diriku sendiri.
Apakah aku juga mengidap HIV seperti laki-laki itu?
Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku.
Derit pintu membuyarkan ingatanku.Â
Kiranya hari sudah pagi.Â
Bapa Made masuk dengan wajah menyimpan kesal.
"Tidurmu pasti terganggu oleh keributan di kamar sebelah itu, Jansen. Entah apa yang terjadi. Sepertinya pasien itu tengah memarahi istrinya," Bapa Made berkata seraya membantuku duduk. Aku menajamkan telingaku. Benar. Terdengar teriakan sumpah serapah berkali-kali.
"Sejak kemarin orang itu marah-marah, Bapa."
"Ia marah setiap kali istrinya datang. Begitu menurut perawat yang sempat berpapasan denganku."
Bapa Made baru saja hendak melanjutkan kalimatnya ketika dokter yang menanganiku masuk dan siap memeriksa kesehatanku pagi ini.