Aku kembali sendiri. Pikiranku berkecamuk. Ingin sekali aku menuruti nasehat yang baru saja kudengar, mengabaikan keluh kesah pasien kamar sebelah itu. Tapi mana mungkin?Â
"Apakah dokter sudah menyampaikan tentang penyakitmu?" terngiang kembali suara laki-laki itu. Aku menggeleng.
"Semoga dokter segera mengatakannya padamu. Jangan sampai mengalami hal seperti aku." Ia tersenyum kecut.
"Apa yang terjadi pada Bli?" aku sengaja memanggilnya Bli untuk menciptakan suasana lebih akrab.
"Aku adalah pasien terlama di rumah sakit ini. Aku menderita penyakit yang aneh." Laki-laki itu menyelonjorkan kakinya yang kurus. "Badanku dulu tidak sekurus ini. Aku ini seorang olahragawan. Jadi aku sangat memperhatikan kesehatanku. Tapi sejak dua tahun lalu aku merasakan perubahan pada diriku. Badanku semakin susut dan napsu makanku hilang. Daya tahan tubuhku menurun drastis. Aku gampang sakit. Apalagi saat perubahan cuaca."
Laki-laki itu menyipitkan matanya. Sementara aku menyimak semua keluh kesahnya dengan bersungguh-sungguh. Entah mengapa gejala sakit yang ia rasakan sama persis dengan yang aku alami.
"Aku sering keluar masuk Rumah Sakit. Aku curiga, sebenarnya dokter sudah tahu apa penyakitku, tapi sengaja tidak mengatakannya kepadaku," laki-laki itu melanjutkan kalimatnya dengan wajah murung.
"Semoga Bli cepat sembuh," ujarku bersimpati.
"atau---cepat mati," ia memotong perkataanku dengan tatapan kosong.
"Bli tidak boleh putus asa begitu. Bli  harus tetap semangat!"  aku berkata seolah kalimat itu kutujukan untuk diriku sendiri.
"Usaha apa yang akan engkau lakukan jika penyakit yang kamu derita tak kunjung sembuh?" laki-laki itu berbalik menatapku. Aku terdiam.