Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [6]

8 Agustus 2017   07:44 Diperbarui: 22 Agustus 2017   17:56 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah sebelumnya

Bag. 6-Di Ambang Asa

Bau minyak atsiri yang menyengat membuatku siuman. Terdengar tarikan napas Bapa Made berulang kali. Meski ia tidak bertanya apa-apa, aku tahu laki-laki itu mencemaskan keadaanku.

"Kukira kau kelelahan, Jansen. Sebaiknya kita hentikan dulu pencarian hari ini," ia berkata pelan seraya menyentuh keningku.

"Mungkin anak ini butuh perawatan medis," suara teman Bapa, Wayan Sidharta menimpali.

"Bli benar. Ia terlihat sangat pucat dan tubuhnya menggigil. Ada Rumah Sakit terdekat di sekitar sini, kan, Bli?"

"Ya, ada. Bawalah ia segera ke sana!"

Taksi berhenti di depan sebuah Rumah Sakit di tengah kota Denpasar. Dua perawat menyambutku dengan kursi dorong. Aku hanya pasrah. Mengingat tubuhku terasa begitu lemah.

"Jansen, kau akan baik-baik saja, Nak," Bapa Made yang ikut berjalan di samping kursi dorong memberiku semangat. Aku mengangguk dan mencoba tersenyum.

"Maaf, silakan menunggu di ruang tunggu," seorang perawat berkata kepada Bapa Made. Laki-laki teman Papi itu menghentikan langkah. Tapi aku memberi tanda padanya agar ia mendekat.

"Bapa, tolong hubungi Papi. Katakan aku baik-baik saja...."

***

Dokter laki-laki yang menanganiku sudah berumur. Ia menyapaku dengan senyum ramah. Tangannya sigap memegang pergelangan tanganku, untuk memeriksa durasi denyut nadiku.

"Bisa Bahasa Indonesia?" ia bertanya lirih. Aku mengangguk.

"Apa yang kamu rasakan, Nak?"

"Sangat lelah. Lelah sekali. Tak terkirakan."

"Siapa namamu?" Dokter itu bertanya sembari meletakkan stetoskop di atas dadaku.

"Jansen."

"Nama yang bagus. Dari Belanda, ya."

Aku mengangguk.

"Berapa usiamu?"

"Bulan ini tujuh belas tahun."

"Oh, Happy Milad voor u, Zoon..."

"Terima kasih."

"Sepertinya kau harus menginap di sini, Nak. Guna observasi selanjutnya," Dokter itu menarik stetoskopnya kembali. Sementara suster yang berdiri di sampingnya membantu merapikan lengan kemejaku yang tersingkap.

"Dokter, apakah aku akan mati?" tanyaku---tiba-tiba. 

Seketika Dokter  yang berdiri di samping tempat tidurku itu mengerutkan alis. Ia menurunkan sedikit kaca matanya.

"Hai, Nak, mengapa bicara begitu? Jangan mengatakan sesuatu yang bukan wewenang kita," Dokter itu menggerak-gerakkan ujung jari telunjuknya. "Kita tidak boleh pesimis," ia menoleh sebentar ke arah suster. "Pasang infusnya, Suster."

Usai bicara begitu, Dokter berkaca mata itu menyentuh pundakku. Sebelum berlalu meninggalkan ruangan, ia berkata,"Zoon,sekarang istirahatlah."

Ruangan kembali hening. Hanya ada suster yang sibuk merapikan selang infus yang berjuntai.

"Boleh aku bicara dengan Bapa Made?" aku memecah kesunyian.

"Oh, laki-laki yang mengantarmu tadi? Baiklah, tunggu sebentar," Suster itu bergegas keluar. Sebentar kemudian ia kembali bersama Bapa Made. Wajah laki-laki itu belum berubah. Masih menyiratkan kecemasan.

"Hai, Nak. Kau akan baik-baik saja." ujarnya sembari merapikan ujung selimutku.

"Bapa, apa sudah bicara dengan Papi?"

"Sudah, Nak. Apa kau ingin bicara dengannya?"

Aku mengangguk. Tentu saja aku ingin bicara dengan Papi. Sangat ingin.

Bapa Made menyodorkan ponsel ke arahku. Tanganku sedikit gemetar.

"Papi, di sini mendung. Apakah Amsterdam juga?" ujarku begitu terhubung dengan Papi.

"Oh, Zoon, Papi mencemaskanmu. Bagaimana keadaanmu?" suara Papi tersendat. Aku tahu Papi tentu sangat mengkhawatirkanku.

"Maak je niet druk, Pi," aku berusaha menenangkannya. Ada jeda beberapa saat. Tapi kemudian terdengar suara Papi lagi.

"Papi baru saja memesan tiket untuk penerbangan ke Bali, Zoon."

"Benarkah?" mataku berbinar. Aku senang mendengar berita itu. Tapi pembicaraan tidak berlanjut lama, sebab suster sudah memberi kode dengan anggukan kecil. 

"Papi, nanti Jansen telpon lagi, ya."

"Oke, Zoon...baik-baiklah kau di sana."

Suster membantuku mengembalikan  ponsel yang sudah kumatikan kepada Bapa Made.

"Bapa, Papi akan segera menyusulku!" aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan. Bapa Made yang sejak tadi duduk di ujung tempat tidur tersenyum.

"Oh, syukurlah. Akhirnya---lelaki keras kepala itu, luluh juga."

***

Aku dipindah dari IGD ke kamar rawat inap setelah lebih dari dua jam menunggu. Usai mengantarku boyong, Bapa Made pamit pulang sebentar. Aku mengizinkannya. Karena aku tahu, laki-laki itu tentu sama lelahnya dengan diriku. Ia butuh istirahat.

Suster baru saja menyuntikkan obat melalui infus yang terpasang di pergelangan tanganku. Sepertinya obat itu mulai bekerja. Aku merasakan kantuk yang luar biasa.

Entah berapa lama aku terlelap di dalam ruangan serba putih itu. Terbangun sekitar tengah malam ketika mendengar langkah memasuki ruangan.

"Maaf, aku harus mengambil sampel darahmu," suster jaga mendekat. Setengah mengantuk aku mengangguk. Kubiarkan tangan terampil itu bekerja. Rasa sakit seperti terkena setrum sesaat kurasakan, ketika spet berujung jarum itu menyedot perlahan darahku. Membuatku menghela napas panjang, berulang-ulang.

"Sudah rampung. Besok hasil lab baru bisa diketahui. Sekarang kau boleh melanjutkan tidur," suster itu merapikan kembali peralatannya. Beberapa menit kemudian terdengar langkahnya berlalu meninggalkan ruangan.

Entah mengapa sepeninggal suster itu, mataku tak bisa lagi terpejam. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba saja menderaku.

Jangan-jangan---aku tidak memiliki waktu untuk bertemu dengan Ibu....

Bersambung.....

***

Malang, 08 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun