"Oh, Happy Milad voor u, Zoon..."
"Terima kasih."
"Sepertinya kau harus menginap di sini, Nak. Guna observasi selanjutnya," Dokter itu menarik stetoskopnya kembali. Sementara suster yang berdiri di sampingnya membantu merapikan lengan kemejaku yang tersingkap.
"Dokter, apakah aku akan mati?" tanyaku---tiba-tiba.Â
Seketika Dokter  yang berdiri di samping tempat tidurku itu mengerutkan alis. Ia menurunkan sedikit kaca matanya.
"Hai, Nak, mengapa bicara begitu? Jangan mengatakan sesuatu yang bukan wewenang kita," Dokter itu menggerak-gerakkan ujung jari telunjuknya. "Kita tidak boleh pesimis," ia menoleh sebentar ke arah suster. "Pasang infusnya, Suster."
Usai bicara begitu, Dokter berkaca mata itu menyentuh pundakku. Sebelum berlalu meninggalkan ruangan, ia berkata,"Zoon,sekarang istirahatlah."
Ruangan kembali hening. Hanya ada suster yang sibuk merapikan selang infus yang berjuntai.
"Boleh aku bicara dengan Bapa Made?" aku memecah kesunyian.
"Oh, laki-laki yang mengantarmu tadi? Baiklah, tunggu sebentar," Suster itu bergegas keluar. Sebentar kemudian ia kembali bersama Bapa Made. Wajah laki-laki itu belum berubah. Masih menyiratkan kecemasan.
"Hai, Nak. Kau akan baik-baik saja." ujarnya sembari merapikan ujung selimutku.