Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [5]

7 Agustus 2017   08:26 Diperbarui: 22 Agustus 2017   17:48 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah sebelumnya Novel| Jejak Sang Penari 4

Bag.5-Melacak Jejak yang Tertinggal  

Matahari pagi membangunkanku. Sinarnya yang hangat mengintip lewat tirai jendela. Aku menggeliat, meregangkan badan sebentar di atas pembaringan. Tapi kemudian gegas beranjak. Teringat hari ini ada janji dengan Bapa Made teman Papi itu.

Agak terburu aku menuju kamar mandi. 

Tidak butuh waktu lama untuk berbenah. Sembari membetulkan kancing kemeja aku berdiri di dekat jendela, membuka lebar-lebar daunnya, menghirup udara pagi yang segar, serta membiarkan aroma wangi bunga kamboja yang tumbuh di taman merebak memenuhi ruang kamarku.

Terdengar suara ketukan. Aku berpikir, itu pasti Bapa Made. Langkahku gegas menuju pintu.

Dan benarlah. Laki-laki paruh baya itu sudah berdiri menyongsongku seraya menebar senyum.

"Selamat pagi, Jansen. Bagaimana keadaanmu hari ini?"

"Pagi yang sangat cerah, Bapa. Membuatku merasa bugar."

"Syukurlah kalau begitu. Kita bisa segera mulai melacak keberadaan Ibumu."

"Tapi Bapa, sebaiknya kita sarapan dulu. Sejak tadi malam perutku belum terisi apa-apa...."

***

Sembari makan kami mengobrol. Bapa Made bercerita banyak mengenai Bali. Aku senang mendengarnya. Meski apa yang ia ceritakan semakin membuatku tak sabar bertemu Ibu.

"Semalam aku terpaksa meninggalkanmu, Jansen. Ada upacara Megibung," Bapa Made menjelaskan.

"Megibung?" aku menghentikan suapanku.

"Iya, Megibung itu adalah tradisi makan bersama yang dilakukan oleh warga setempat. Kami makan beramai-ramai dalam satu wadah. Tujuannya untuk menjalin kebersamaan dan kerukunan."

"Oh, iya aku ingat! Dulu Ibu pernah sekali mengajakku menghadiri acara Megibung ini..." mataku berbinar.

"Ingatanmu bagus sekali, Nak," Bapa Made tersenyum menatapku.  Ia sepertinya paham apa yang tengah kurasakan.

"Habiskan makananmu, Jansen. Kita akan segera memulai pencarian...."

***

Taksi yang kami sewa meluncur perlahan meninggalkan motel. Di tengah perjalanan Bapa Made membisiku, "Kita sedang menuju balai pertunjukan seni di mana Ibumu dulu sering tampil. Semoga di sana bisa mendapat informasi yang kita butuhkan."

Aku mengangguk. Aku percayakan semua harapanku pada laki-laki teman Papi ini.

"Lokasi balai pertunjukan lumayan jauh, Jansen. Jadi masih banyak waktu untuk mengobrol."

Aku mengangguk lagi.

"Oh, ya, apa yang kau lakukan sepeninggalku tadi malam, Nak? Apakah langsung tidur?"

"Tidak Bapa. Semalam aku sempatkan berjalan-jalan ke taman kota, dan..." aku tidak melanjutkan kalimatku. Tiba-tiba saja ingatanku tertuju pada sosok pedagang asongan itu.

Tanpa sadar tanganku merogoh saku celana. Oh, cincin pemberian orang itu, terbawa olehku!

"Ada apa Jansen? Kau mengalami sesuatu?" dari pantulan kaca spion Bapa Made melihat perubahan wajahku.

"Hanya bertemu pedagang asongan, Bapa. Dan ia sempat memberi ini sebagai tanda kenang-kenangan," aku menunjukkan cincin berukir itu kepada Bapa Made.

Sejenak kening lelaki itu berkerut.

"Jadi kau bertemu dengan orang itu juga. Maksudku pedagang asongan yang membebat wajahnya dengan kain...."

"Iya, benar! Bagaimana Bapa bisa tahu?"

"Semua pengunjung taman tahu, Nak. Orang macam apa dia."

"Maksud Bapa?"

"Ah, kukira ini cerita yang tidak penting."

"Tapi aku ingin tahu. Bisakah Bapa menceritakan sesuatu tentang orang itu? Aku merasa kasihan. Ia sepertinya sedang sakit. Beberapa kali ia terbatuk-batuk."

Beberapa saat lamanya Bapa Made terdiam. Seperti sedang berpikir. 

Aku menunggu.

"Kau benar, Nak. Orang itu memang sakit. Di sini banyak orang sakit seperti dia."

"Maksud Bapa?"

"Ia mengidap virus HIV."

"Oh!" mulutku ternganga.

"Semoga kau tidak bertemu dia lagi, Jansen. Penyakit itu sangat berbahaya. Ia bisa menular walau hanya dengan sentuhan. Setidaknya begitu yang pernah kudengar."

Aku terdiam. Peringatan Bapa Made sama sekali tidak membuatku takut. Justru aku berharap bisa bertemu lagi dengannya. Orang itu, pemilik suara serak itu. Bukankah ia sudah menjadi temanku?

Perlahan kusimpan kembali cincin pemberiannya ke dalam saku celanaku.

Taksi berhenti di area parkir yang cukup luas. Kami telah sampai di tujuan.

Bapa Made mendahului turun. Aku mengikutinya dari belakang.

"Made Mahendra!" seseorang berseru menyambut Bapa Made yang berjalan tergesa.

"Bagaiamana kabarmu, Bli? Aku membawa tamu. Pemuda ganteng ini anak kenalanku yang tinggal di Amsterdam. Ayo, Nak, perkenalkan dirimu," Bapa Made menoleh ke arahku.

"Senang bertemu Anda. Namaku Jansen," aku mengulurkan tangan.

"Wayan Sidharta," laki-laki yang tampak lebih tua dari Bapa Made itu menyambut uluran tanganku.

"Kau ada waktu untuk mengobrol, Bli? Ada banyak hal yang ingin kami tanyakan padamu."

Laki-laki pengelola balai itu mengangguk. Lalu membawa kami menuju gazebo yang terletak di ujung halaman.

Di sana Bapa Made memulai pembicaraan berkenaan dengan pencarian kami terhadap keberadaan Ibu.

"Oh, ini tentang Ni Kadek Restiana, ya? Dia sudah lama tidak bekerja di sini."

"Dia tidak meninggalkan alamat?" Bapa Made menegaskan.

"Tidak. Ia pergi begitu saja. Tanpa pesan."

Aku menyimak pembicaraan kedua laki-laki dewasa itu. Perasaanku kacau.

Bapa Made berdiri. Ia memahami perasaanku. Tangannya yang kekar gegas merangkul pundakku.

"Nak, kita coba mencari ke tempat lain, ya?" ia berbisik di telingaku.

Entah mengapa, usai mendengar bisikan itu tiba-tiba saja semua menjadi gelap.

Bersambung....

***

Malang, 07 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun