"Barang apa yang kau jual?" mataku menatap kotak kayu yang kini tergeletak di dekat kakinya.Â
"Ah, hanya souvenir murahan,  Mister.  Cincin imitasi, kalung imitasi. Semua serba imitasi. Apakah  Mister ingin melihatnya?"
Belum juga aku menjawab, pedagang asongan itu bergegas jongkok, membuka kotak dagangannya dan menunjukkan isinya kepadaku. Ia meraup sesuatu menggunakan tangan kanannya.Â
Tanpa sadar aku ikut berjongkok di sampingnya.
"Ini barang bagus! Karya seni yang indah," aku menyentuh sebuah cincin terbuat dari perak yang berada dalam genggaman pedagang asongan itu.. Cincin itu bentuknya sangat indah dengan ukiran manis di sepanjang lingkarannya.
"Kalau  Mister suka, silakan ambil!" pedagang asongan itu menyodorkan cincin yang kusentuh.
"Berapa harganya?" aku merogoh saku celanaku. Mengeluarkan dompet dan berniat menarik senilai uang dari dalamnya.Â
"Untuk  Mister,  gratis!"
"Oh, tentu saja tidak boleh begitu, kau tidak boleh melakukannya. Nanti kamu merugi."
"Saya tidak akan merugi, Â Mister. Â Percayalah," Â pedagang asongan itu tertawa, serak. "Anggaplah ini sebagai tanda pertemanan kita."
Beberapa saat kemudian, cincin perak berukir manis itu sudah berpindah ke dalam genggamanku.