Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [4]

6 Agustus 2017   07:39 Diperbarui: 6 Agustus 2017   18:15 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah sebelumnya Novel | Jejak Sang Penari [3]

Bag. 4- Malam Pertama di Denpasar

Usianya seumuran dengan Papi. Tapi badannya masih kelihatan kekar dan kuat. Kulitnya coklat kehitaman, licin mengkilap. Sebagian rambutnya sudah memutih. Mengingatkanku pada rambut Papi.

"Jansen, apa kabarmu, Nak?" laki-laki bernama Made itu tanpa sungkan memelukku, menepuk perlahan pundakku yang kurus.

"Aku--- sehat," jawabku ragu.

"Bagaimana keadaan Pieter?"

"Papi juga sehat."

Laki-laki itu melepas pelukannya lalu menatapku sejenak.

"Kau siap melacak Ibumu, Nak?"

"Melacak? Maksud  Anda?" aku menatap laki-laki di hadapanku itu dengan pandang tidak mengerti.

"Jangan memanggilku Anda, Jansen. Panggilah aku Bapa...itu terdengar lebih akrab." Laki-laki itu tersenyum. Sederetan giginya yang menguning terlihat.

"Ada yang ingin kujelaskan padamu, Nak. Tapi sebaiknya kita duduk di sana," ia berjalan mendahuluiku menuju sofa yang terletak di sudut lobi motel. Ia menghempaskan tubuhnya di sana. Aku mengikutinya.

Laki-laki itu menggerak-gerakkan buku-buku jari tangannya sejenak. Kemudian melanjutkan kalimatnya yang tadi terputus.

"Sejak menerima kabar dari Pieter kau akan datang, aku berusaha mencari keberadaan Ni Kadek Resti. Tapi sepertinya aku kehilangan jejak...." 

"Apakah... itu artinya aku tidak bisa bertemu dengan Ibu?" suaraku tercekat. Mataku terasa panas.

"Bukan begitu maksud Bapa, Jansen...."

"Apakah kedatanganku ke Bali ini sia-sia?" aku memberanikan diri menatap laki-laki yang duduk bersebelahan denganku itu. Ia menghela napas panjang.

"Dengar dulu, Jansen. Bukan itu maksud Bapa. Aku akan membantu mencari keberadaan Ibumu sampai ketemu, tapi... tidak sekarang."

"Lalu kapan?" alisku mengernyit. 

"Kita memulai pencarian besok pagi. Itupun jika lelahmu sudah hilang," Bapa Made membetulkan letak duduknya. 

"Mengapa mesti menunggu besok?" aku menatap laki-laki paruh baya itu dengan mata menyipit. "Aku ingin segera bertemu Ibu, sekarang juga!"

"Hari sudah malam, Jansen. Tidak ada guna kita melakukan pencarian."

"Tapi aku ingin bertemu Ibu. Aku merindukannya...."

Sekarang, tak bisa kutahan lagi---aku benar-benar menangis.

***

Bapa Made, teman Papi itu, sudah pergi meninggalkan motel sejak beberapa menit lalu. Ia berjanji akan datang esok pagi menjemputku. Meski rasa kecewa menggayuti pikiranku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan. Aku sangat bergantung padanya.

Kuputuskan berjalan-jalan sebentar keluar kamar. Udara ternyata sangat dingin. Kakiku melangkah agak terseok, menyusuri badan trotoar lalu berhenti di sebuah taman kota. Masih terlihat beberapa pengunjung di sana, di taman kota itu. Mereka duduk-duduk di bangku taman yang lampunya menyala tidak begitu terang. 

Satu dua pedagang asongan hilir mudik menjajakan barang dagangan mereka, sambil sesekali menyapa pengunjung saat berpapasan.

"Goednavond, Mister..." suara serak menegurku. Aku menoleh. Kukira ia adalah salah satu dari pedagang asongan itu. Ia memakai topi kumal dan kain serupa syal yang dililitkan hampir menutupi seluruh wajahnya. Hanya matanya saja yang terlihat. Aku berpikir, ia berpenampilan seperti itu tentu untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk.

"Selamat malam," aku menyambut salamnya seraya duduk di bangku taman yang kebetulan kosong.

"Oh, hebat sekali! Anda sangat fasih berbahasa Indonesia," pedagang asongan itu memuji. Suaranya yang serak menyiratkan kegembiraan yang sama denganku. Kegembiraan menemukan teman mengobrol. 

Aku beringsut memberinya tempat duduk.

"Malam yang indah, ya,  Mister.  Meski daganganku sama sekali belum laku..." pedagang itu berkata sembari tertawa kecil. Ia meletakkan kotak kayu yang berada di pelukannya.

"Barang apa yang kau jual?" mataku menatap kotak kayu yang kini tergeletak di dekat kakinya. 

"Ah, hanya souvenir murahan,  Mister.  Cincin imitasi, kalung imitasi. Semua serba imitasi. Apakah  Mister  ingin melihatnya?"

Belum juga aku menjawab, pedagang asongan itu bergegas jongkok, membuka kotak dagangannya dan menunjukkan isinya kepadaku. Ia meraup sesuatu menggunakan tangan kanannya. 

Tanpa sadar aku ikut berjongkok di sampingnya.

"Ini barang bagus! Karya seni yang indah," aku menyentuh sebuah cincin terbuat dari perak yang berada dalam genggaman pedagang asongan itu.. Cincin itu bentuknya sangat indah dengan ukiran manis di sepanjang lingkarannya.

"Kalau  Mister  suka, silakan ambil!" pedagang asongan itu menyodorkan cincin yang kusentuh.

"Berapa harganya?" aku merogoh saku celanaku. Mengeluarkan dompet dan berniat menarik senilai uang dari dalamnya. 

"Untuk  Mister,  gratis!"

"Oh, tentu saja tidak boleh begitu, kau tidak boleh melakukannya. Nanti kamu merugi."

"Saya tidak akan merugi,  Mister.  Percayalah,"  pedagang asongan itu tertawa, serak. "Anggaplah ini sebagai tanda pertemanan kita."

Beberapa saat kemudian, cincin perak berukir manis itu sudah berpindah ke dalam genggamanku.

Bersambung

****

Malang, 06 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun