"Ada yang ingin kujelaskan padamu, Nak. Tapi sebaiknya kita duduk di sana," ia berjalan mendahuluiku menuju sofa yang terletak di sudut lobi motel. Ia menghempaskan tubuhnya di sana. Aku mengikutinya.
Laki-laki itu menggerak-gerakkan buku-buku jari tangannya sejenak. Kemudian melanjutkan kalimatnya yang tadi terputus.
"Sejak menerima kabar dari Pieter kau akan datang, aku berusaha mencari keberadaan Ni Kadek Resti. Tapi sepertinya aku kehilangan jejak...."Â
"Apakah... itu artinya aku tidak bisa bertemu dengan Ibu?" suaraku tercekat. Mataku terasa panas.
"Bukan begitu maksud Bapa, Jansen...."
"Apakah kedatanganku ke Bali ini sia-sia?" aku memberanikan diri menatap laki-laki yang duduk bersebelahan denganku itu. Ia menghela napas panjang.
"Dengar dulu, Jansen. Bukan itu maksud Bapa. Aku akan membantu mencari keberadaan Ibumu sampai ketemu, tapi... tidak sekarang."
"Lalu kapan?" alisku mengernyit.Â
"Kita memulai pencarian besok pagi. Itupun jika lelahmu sudah hilang," Bapa Made membetulkan letak duduknya.Â
"Mengapa mesti menunggu besok?" aku menatap laki-laki paruh baya itu dengan mata menyipit. "Aku ingin segera bertemu Ibu, sekarang juga!"
"Hari sudah malam, Jansen. Tidak ada guna kita melakukan pencarian."