Kadek Resti dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Antara cinta terhadap kekasih dan cinta terhadap keluarganya.
Sampai akhirnya Ni Kadek memutuskan ia lebih memilih Pieter. Itu pilihan akhir hidupnya.
Ia menerima pinangan lelaki asing itu dan bersedia menikah dengannya. Ia tak peduli meski harus menanggung akibatnya, dibuang dan dikucilkan dari kerabatnya.
Cinta memang begitu. Selalu menyuguhkan rasa manis di awal-awal kisah. Bahkan kita tidak menyadari, ketika letupan kecil mulai muncul, sang pecinta tetap berharap sepenuhnya padanya, agar segalanya mampu terlewati.
Tapi ternyata hidup tidak bisa dijalani dengan sekadar mengandalkan cinta. Ada tuntutan yang harus dipenuhi. Ada perut yang tidak bisa kenyang hanya dengan bermodal cinta. Ada janin yang tumbuh di rahim Ni Kadek dan....
Pieter tak berkutik. Sebagai seniman penghasilannya sungguh tak bisa diharapkan.
Ni Kadek sangat paham itu, ia perempuan yang tetap menggenggam harapan sepenuh cinta. Ia memutuskan mesti lebih giat bekerja demi membantu menopang kehidupan keluarga kecilnya.
Perempuan  itu, semakin sering menerima job-job menari, walau akhirnya terpaksa berhenti saat perutnya yang buncit tidak bisa lagi disembunyikan.Â
Usai melahirkan, Kadek melanjutkan pekerjaannya kembali.
Sebagai laki-laki bermartabat, Pieter mulai dilanda rasa minder. Ia malu karena tidak mampu menghidupi keluarga kecilnya. Pieterpun berpikir ingin kembali ke negeri moyangnya. Dia ingin memulai hidup baru di sana. Ia masih memiliki tanah pertanian yang cukup luas warisan dari orang tuanya.
Keinginan itu disampaikan kepada Ni Kadek. Pada mulanya istrinya itu menyetujui. Namunentah mengapa tiba-tiba Ni Kadek berubah pikiran. Hatinya bimbang. Ia merasa berat meninggalkan Bali, tanah leluhurnya yang telah memberinya banyak kehidupan.