Bag. 2 - Kabut Kelam Pulau Dewata
Meski aku tumbuh tanpa didampingi Ibu, Papi berusaha memenuhi semua kebutuhanku. Papi seorang ayah yang tegas namun berhati lembut. Papi sangat menyayangiku. Kelewat sayang malah. Apalagi saat tahu aku memiliki masalah dengan kesehatanku. Â
Entahlah, sakit apa sebenarnya aku ini. Tubuhku kian hari kian kurus. Pipiku cekung, bibirku pucat kebiruan. Dan di sekitar mataku dipenuhi lingkar hitam. Periksa ke Rumah Sakit? Sudah. Namun sejauh ini dokter belum bisa mendeteksi penyakit apa yang tengah bersemayam dalam tubuhku.
Malam di musim dingin sungguh terasa panjang. Meski tubuhku penat, mataku sulit diajak terpejam. Gulungan foto Ibu masih kudekap erat. Kubawa berbaring di tempat tidur.
Tuhan, aku ingin bertemu Ibu....
Apakah ia baik-baik di sana? Apakah Ibu saat ini juga sedang memikirkanku?
Aku memiringkan badan sedikit. Pikiranku gelisah. Selama ini aku tidak berani menanyakan  perihal Ibu kepada Papi. Aku sangat menjaga perasaan Papi. Tapi malam ini, tiba-tiba saja aku ingin bicara dengan Papi mengenai Ibu.
"Belum tidur, Jansen?" tanya Papi ketika melihat lampu kamarku masih menyala. Aku tidak menyahut. Mataku menerawang jauh menembus langit-langit kamar.
"Kau sedang memikirkan sesuatu, Nak?" Papi mendekat, duduk di tepi pembaringan seraya membetulkan letak selimutku yang tersingkap.
"Papi tidak akan marah jika aku mengatakan sesuatu?" aku berkata pelan.