Mata Pieter tak bisa berhenti menatap indah yang tersaji di hadapannya.
Kadek adalah wujud nyata Pulau Bali. Matanya yang elok bagai pancaran rembulan di atas Tanah Lot. Lekuk tubuhnya bak kelokan pasiryang meliuk di sepanjang Pantai Sanur. Rambutnya yang panjang terurai ibarat alun ombak yang menyentuhlembut bibirPantai Kuta.
Kadek adalah Bali.
Dan Bali adalah Kadek.
Kadek sendiri bertemu Pieter dengan segenggam kekaguman luar biasa. Baginya Pieter tidak saja berwajah tampan, tapi lebih dari itu. Laki-laki berkebangsaan asing itu memiliki sorot mata yang lembut. Meski garis wajahnya terlihat tegas dengan bibir mengatup rapat. Kadek yakin, Pieter adalah type lelaki yang selama ini diidamkannya.
Kadek  jatuh cinta kepada Pieter seperti Pieter jatuh cinta kepadanya.
Cinta. Ya, selamanya ia selalu begitu. Selalu terasa indah.
Pieter dan Kadek yakin mampu melewati semuanya. Berharap penuh terhadap kekuatan cinta yang mereka miliki. Perbedaan ras, tradisi, bukan penghambat berarti. Setidaknya untuk sementara mereka berpikir begitu.
Meski sebenarnya mereka dihadapkan pada masalah yang tak kalah pelik. Yakni keluarga Kadek tidak merestui hubungan asmara dua anak manusia berbeda kebangsaan itu.Â
Sang primadona tidak diperbolehkan menikah dengan orang asing. Apalagi orang Belanda. Penolakan tersebut bukan tanpa sebab. Ada trauma masa lalu yang sulit tersembuhkan. KeluargaKadek masih beranggapan, Belanda adalah penjajah terkejam di negeri ini. Nenek moyang Ni Kadek banyak  yang gugur akibat kesadisan tentara Belanda kala itu. Dan jika sekarang Ni Kadek memaksa menikahi Pieter, itu berarti gadis itu telah menghianati perjuangan para leluhur.
Tidak, itu tidak boleh terjadi. Jika Kadek memaksa melakukannya, maka ia akan dicoret dan dibuang dari silsilah keluarga.