"Tentu saja tidak, Jansen. Mana pernah Papi marah padamu?" Papi menggeser duduknya. Tangannya yang lembut mengelus ujung kakiku.
"Ik mis moeder..." aku menutup wajahku dengan bantal.
Aku tidak ingin Papi melihatku menangis.
"Singkirkan bantalmu, Jansen. Kita perlu bicara," Papi menyentuh pundakku. Aku mengeringkan air mata dengan ujung selimut, beranjak dari tidur dan duduk berhadapan dengan Papi.
"Jansen, Papi mengerti perasaanmu. Tapi maukah engkau mendengar cerita Papi?"Â Papi menatapku sejenak. Ragu aku mengangguk.
"Sudah waktunya Papi menceritakan semuanya, Nak. Kau sudah tujuh belas tahun," suara Papi terdengar getir. Aku terdiam, membiarkan Papi menata hatinya. Keheningan menyeruak beberapa menit. Lalu terdengar hela napas panjang. Setelah hela itu mereda, mulailah Papi berkisah tentang perjalanan panjang hidupnya.
Lelaki bujang lapuk itu bernama Pieter.
Pieter menghabiskan waktunya berlama-lama di depan kanvas. Ia biarkan seluruh jiwa raganya terpasung dalam dunia yang  jauh dari hingar bingar. Ia menyukai ketenangan. Itulah sebab mengapa ia lebih memilih berkutat dengan tumpahan cat minyak dan kuas-kuas yang berserak dari pada berada di kerumunan banyak orang.
Dunia lukis menghanyutkannya  jauh. Hingga pada suatu kesempatan, Pieter terdampar di sebuah negeri di belahan Tenggara bernama Indonesia. Negeri yang konon---menurut cerita banyak orang menyimpan keindahan eksotik serta ragam budaya tak terperi.
Tak ada tempat seindah negeri bernama Indonesia. Pieter mengakui itu, setelah ia benar-benar menginjakkan kakinya di sana.
Pieter telah jatuh cinta pada negeri itu. Juga pada sosok perempuan yang sedang menari gemulai di atas panggung saat ia berkunjung ke sebuah pulau bernama Bali.