Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | [1] Jejak Sang Penari

3 Agustus 2017   15:10 Diperbarui: 4 Agustus 2017   11:44 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 1

Amsterdam, Musim Dingin         

Pagi ini aku membantu Papi membersihkan gudang yang terletak di lantai dua. Banyak barang rongsokan yang perlu dirapikan. Aku mulai dengan memindahkan kardus-kardus besar berisi buku-buku yang kertasnya sudah mulai menguning, mengikat gulungan-gulungan kanvas yang tidak terpakai, juga mengelap debu yang menempel di atas lemari berukir yang pernisnya sudah memudar.

Di luar gerimis mulai turun. Ini awal musim dingin. Angin kencang menderu berebut menghempas daun jendela, membawa percik gerimis hingga meninggalkan bekas basah di atas lantai papan.

Kakiku melangkah menuju jendela, meraih daunnya yang berderit dan menutupnya perlahan. Alunan musik lembut dari piringan hitam milik Papi, terkalahkan oleh deru angin yang membawa serta udara dingin, yang sempat menampar wajahku dan membuat tubuh kurusku seketika menggigil.

"Jansen," suara Papi dari lantai bawah. "Turunlah, Nak. Papi sudah siapkan susu panas untukmu."

"Sebentar lagi, Pi," aku menyahut.

"Jangan terlalu lelah, ya. Nanti kamu jatuh sakit," suara Papi lagi. Aku belum sempat menyahut ketika kudengar langkah Papi sudah pergi menuruni anak tangga kembali.

Kulanjutkan kesibukan kembali. Membersihkan satu gulungan terakhir. Gulungan kecil yang terikat oleh benang rajut. Kuamati gulungan itu sejenak. Menimang-nimangnya, lalu perlahan melepas ikatannya.

Entah mengapa saat gulungan itu terbuka, jantungku berdegup. Mataku terasa panas.

Ya, mataku kini tertuju pada foto yang terpampang dari balik gulungan. Foto lawas yang mengabadikan sosok seorang perempuan. Posenya sedang menari. Tubuhnya langsing, dililit pakaian adat yang bagus. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai dengan hiasan mahkota terbuat dari rangkaian bunga kamboja berwarna kuning. Wajahnya sangat cantik. Cantik nian---bagai bidadari.

Seluruh tubuhku gemetar. Kudekap foto yang kertasnya mulai pudar itu. Tiba-tiba saja rasa kangen menderaku. Bertubi-tubi. Memberi rasa sakit yang tiada terperi.

Aku menangis, tergugu dalam peluk kenangan.

Perempuan cantik yang tengah berada dalam dekapanku itu adalah Ibuku. Ibu yang berada sangat jauh dari jangkauanku. Ibu yang pernah memberiku rasa nyaman dan kehangatan semasa aku kecil. Dan Ibu yang harus merelakan takdirnya terpisah dariku.

Isakku luruh bersama gerimis yang kian merapat. Kenanganku mengembara---menembus belahan bumi yang entah.  

Ah, Ibu...bagaimana keadaanmu kini? Kita telah begitu lama kehilangan kontak. Nyaris dua belas tahun.

Aku menggigil. Tiba-tiba saja kilas memori menyambar seluruh isi kepalaku.

Seorang bocah, usia lima tahun---itu aku! Yang menangis tersedu tanpa bisa berbuat apa-apa. Yang kutahu, tiba-tiba saja tubuhku sudah berada dalam gendongan Papi.

"Jangan bawa pergi anakku, Pieter. Kumohon, biarkan dia tinggal bersamaku..." suara Ibu mengiba. Tangisnya tumpah. Tapi Papi seolah tidak mendengar, wajahnya membeku.  Tubuhnya yang tinggi tegap terus saja berjalan tanpa menoleh ke arah Ibu.

Papi membawaku menuju dermaga.

"Pieter, kumohon...jangan bawa anakku!"  teriakan Ibu menyatu dengan deru angin. Aku yang tengah berada dalam gedongan menangis meronta. Hatiku perih melihat Ibu berlari tertatih mengikuti kami.

"Papi, berhentilah!" aku memohon. Tangan mungilku memukul-mukul punggung perkasa Papi. Dan Papi menurutiku.

Ibu menghambur ke arah kami. Tubuhnya yang langsing terguncang menumpahkan sedu sedan.

"Jika kau menginginkan Jansen, kau harus ikut bersamaku," Papi berkata tanpa menoleh. Ia membiarkan Ibu bersimpuh menyentuh punggung kakinya.

"Itu tidak mungkin, Pieter. Duniaku  di sini. Aku tidak bisa meninggalkan Bali. Aku tidak bisa meninggalkan tanah kelahiranku ini. Semua keluargaku di sini. Mereka tidak akan mengijinkan aku pergi," mata Ibu semakin basah.

"Jika kau lebih memilih mereka, jangan halangi kami pergi," Papi menepis punggung tangan Ibu. Lalu gegas mempercepat langkah menuju kapal Ferry yang sudah membunyikan keras --keras peluitnya.

Papi menutup telinga, tak menghiraukan sama sekali seruan Ibu yang terus memanggi-manggil namaku.

Senja mulai menghilang ditelan keremangan. Kapal Ferry yang kami tumpangi perlahan meluncur ke tengah laut. Papi membawaku ke buritan, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi seraya berbisik, "Jansen, ucapkan selamat tinggal pada tanah kelahiranmu. Kita akan pergi menuju suatu tempat yang jauh,Nak---negeri nenek moyang Papi."

Mata bocahku sekilas menatap kejauhan. Tak kulihat lagi sosok langsing Ibuku. Juga deretan Pura tempat biasa Ibu mengajakku meletakkan bunga-bunga wangi sebagai  sesaji bagi para Dewa sesembahan.

Kapal Ferry kian melaju---kencang. Meninggalkan semua jejak kenangan.

Bersambung....

***

Malang, 03 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun