Seluruh tubuhku gemetar. Kudekap foto yang kertasnya mulai pudar itu. Tiba-tiba saja rasa kangen menderaku. Bertubi-tubi. Memberi rasa sakit yang tiada terperi.
Aku menangis, tergugu dalam peluk kenangan.
Perempuan cantik yang tengah berada dalam dekapanku itu adalah Ibuku. Ibu yang berada sangat jauh dari jangkauanku. Ibu yang pernah memberiku rasa nyaman dan kehangatan semasa aku kecil. Dan Ibu yang harus merelakan takdirnya terpisah dariku.
Isakku luruh bersama gerimis yang kian merapat. Kenanganku mengembara---menembus belahan bumi yang entah. Â
Ah, Ibu...bagaimana keadaanmu kini? Kita telah begitu lama kehilangan kontak. Nyaris dua belas tahun.
Aku menggigil. Tiba-tiba saja kilas memori menyambar seluruh isi kepalaku.
Seorang bocah, usia lima tahun---itu aku! Yang menangis tersedu tanpa bisa berbuat apa-apa. Yang kutahu, tiba-tiba saja tubuhku sudah berada dalam gendongan Papi.
"Jangan bawa pergi anakku, Pieter. Kumohon, biarkan dia tinggal bersamaku..." suara Ibu mengiba. Tangisnya tumpah. Tapi Papi seolah tidak mendengar, wajahnya membeku. Â Tubuhnya yang tinggi tegap terus saja berjalan tanpa menoleh ke arah Ibu.
Papi membawaku menuju dermaga.
"Pieter, kumohon...jangan bawa anakku!" Â teriakan Ibu menyatu dengan deru angin. Aku yang tengah berada dalam gedongan menangis meronta. Hatiku perih melihat Ibu berlari tertatih mengikuti kami.
"Papi, berhentilah!" aku memohon. Tangan mungilku memukul-mukul punggung perkasa Papi. Dan Papi menurutiku.