Ibu menghambur ke arah kami. Tubuhnya yang langsing terguncang menumpahkan sedu sedan.
"Jika kau menginginkan Jansen, kau harus ikut bersamaku," Papi berkata tanpa menoleh. Ia membiarkan Ibu bersimpuh menyentuh punggung kakinya.
"Itu tidak mungkin, Pieter. Duniaku  di sini. Aku tidak bisa meninggalkan Bali. Aku tidak bisa meninggalkan tanah kelahiranku ini. Semua keluargaku di sini. Mereka tidak akan mengijinkan aku pergi," mata Ibu semakin basah.
"Jika kau lebih memilih mereka, jangan halangi kami pergi," Papi menepis punggung tangan Ibu. Lalu gegas mempercepat langkah menuju kapal Ferry yang sudah membunyikan keras --keras peluitnya.
Papi menutup telinga, tak menghiraukan sama sekali seruan Ibu yang terus memanggi-manggil namaku.
Senja mulai menghilang ditelan keremangan. Kapal Ferry yang kami tumpangi perlahan meluncur ke tengah laut. Papi membawaku ke buritan, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi seraya berbisik, "Jansen, ucapkan selamat tinggal pada tanah kelahiranmu. Kita akan pergi menuju suatu tempat yang jauh,Nak---negeri nenek moyang Papi."
Mata bocahku sekilas menatap kejauhan. Tak kulihat lagi sosok langsing Ibuku. Juga deretan Pura tempat biasa Ibu mengajakku meletakkan bunga-bunga wangi sebagai  sesaji bagi para Dewa sesembahan.
Kapal Ferry kian melaju---kencang. Meninggalkan semua jejak kenangan.
Bersambung....
***
Malang, 03 Agustus 2017
Lilik Fatimah Azzahra