Bagian 1
Amsterdam, Musim Dingin    Â
Pagi ini aku membantu Papi membersihkan gudang yang terletak di lantai dua. Banyak barang rongsokan yang perlu dirapikan. Aku mulai dengan memindahkan kardus-kardus besar berisi buku-buku yang kertasnya sudah mulai menguning, mengikat gulungan-gulungan kanvas yang tidak terpakai, juga mengelap debu yang menempel di atas lemari berukir yang pernisnya sudah memudar.
Di luar gerimis mulai turun. Ini awal musim dingin. Angin kencang menderu berebut menghempas daun jendela, membawa percik gerimis hingga meninggalkan bekas basah di atas lantai papan.
Kakiku melangkah menuju jendela, meraih daunnya yang berderit dan menutupnya perlahan. Alunan musik lembut dari piringan hitam milik Papi, terkalahkan oleh deru angin yang membawa serta udara dingin, yang sempat menampar wajahku dan membuat tubuh kurusku seketika menggigil.
"Jansen," suara Papi dari lantai bawah. "Turunlah, Nak. Papi sudah siapkan susu panas untukmu."
"Sebentar lagi, Pi," aku menyahut.
"Jangan terlalu lelah, ya. Nanti kamu jatuh sakit," suara Papi lagi. Aku belum sempat menyahut ketika kudengar langkah Papi sudah pergi menuruni anak tangga kembali.
Kulanjutkan kesibukan kembali. Membersihkan satu gulungan terakhir. Gulungan kecil yang terikat oleh benang rajut. Kuamati gulungan itu sejenak. Menimang-nimangnya, lalu perlahan melepas ikatannya.
Entah mengapa saat gulungan itu terbuka, jantungku berdegup. Mataku terasa panas.
Ya, mataku kini tertuju pada foto yang terpampang dari balik gulungan. Foto lawas yang mengabadikan sosok seorang perempuan. Posenya sedang menari. Tubuhnya langsing, dililit pakaian adat yang bagus. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai dengan hiasan mahkota terbuat dari rangkaian bunga kamboja berwarna kuning. Wajahnya sangat cantik. Cantik nian---bagai bidadari.