Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melody, Masih Ada Hari Esok

16 Juni 2017   11:05 Diperbarui: 15 Agustus 2017   12:12 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berlari-lari kecil menembus gerimis. Jalanan mulai gelap. Tak kuhirau. Juga perut yang terasa perih sejak siang tadi. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, aku harus segera pulang. Harus tiba di rumah tepat waktu. Jika tidak...entahlah.

"Mel, hari ini tukang yang membenahi atap bocor terakhir bekerja. Kamu jangan terlambat pulang!" Pesan Bapak mertua tadi pagi masih terngiang di telingaku. Juga tatapan Ibu mertua yang sengaja menutup pintu kulkas keras-keras. "Sepertinya kulkas harus segera diisi, Mel. Bukankah hari ini kamu gajian?"

Dan masih banyak lagi pesan-pesan tersirat, dari sorot mata Mas Rusdi, suamiku. Sorot mata yang paling kubenci, sekaligus kucintai.

"Rokokku, Mel, sudah tinggal sebatang. Oh, ya...kalau ada sisa uang gajimu, jangan lupa belikan Abang masakan Padang ya!"

Aku hanya bisa mengangguk, tak bisa mengelak melewati hari-hari yang sibuk oleh permintaan mereka, orang-orang pemalas yang---terlanjur hadir dalam hidupku.

Gerimis kian merapat. Wajah lelahku mulai basah. Di teras rumah, kulihat tukang yang disuruh oleh Bapak mertua sedang duduk merenung. Menungguku. Ia terlihat gembira begitu melihat kemunculanku.

"Mbak Mel, saya kira mbak akan pulang malam."

"Sebenarnya iya, Pak. Tapi saya minta izin kepada pengawas pabrik untuk pulang duluan." Aku menyodorkan amplop berisi uang kepada tukang bangunan itu. Usai mengucap terima kasih, tukang itupun pergi.

Langkahku terhenti di ambang pintu. Kulihat Ibu mertua berdiri menatapku.

"Mel? Kau belum belanja? Tadi pagi Mama kan sudah bilang...."

"Saya terburu-buru, Ma."

"Lalu kita mau makan apa?"

"Saya sudah belikan masakan Padang, Ma...."

Seketika mata Ibu mertuaku berbinar. Tapi hanya sebentar.

"Baiklah, Ma. Setelah makan malam Melody akan pergi belanja." Aku terpaksa mengatakan itu. Meski sebenarnya aku lelah---sangat lelah.

Mas Rusdi, suamiku ikut menghadangku. Tangan kekarnya menengadah. "Kau tidak lupa rokok pesananku, kan, Mel?"

Agak gemetar aku merogoh saku jaketku. Kuserahkan sebungkus rokok ke arahnya.

"Muuach...Melody memang benar-benar seorang istri yang baik dan penuh pengertian. Bukan begitu Ma?" Ia berjalan melenggang masuk ke ruang dalam setelah terlebih dulu mengecup permukaan bungkus rokok kesukaannya.

***

Tengah malam tubuhku menggigil. Gerimis petang tadi membuat badanku demam. Tenggorokanku terasa kering. Aku ingin minum. Dengan langkah gontai aku beranjak dari tempat tidur menuju ruang makan.

Sekelebat kulihat Bapak dan Ibu mertua masih duduk-duduk santai di ruang tengah.

"Jadi kapan gadis itu mulai tinggal di sini?" suara Bapak mertua terdengar jelas.

"Kukira lebih cepat lebih baik," jawab Ibu mertua. Aku mengernyit alis. Siapa lagi yang mereka bicarakan? Seorang gadis? Entah mengapa tiba-tiba saja aku lupa akan rasa hausku. Aku kembali masuk ke dalam kamar dengan menangkup gelas berisi air, duduk perlahan di tepi pembaringan dan menatap Mas Rusdi yang masih tertidur pulas. Ingin sekali aku membangunkannya untuk sekadar menanyakan, siapa gadis yang tengah diperbincangankan oleh Bapak dan Ibu mertua. Apakah gadis itu akan bernasib sama denganku?

"Mel...kau belum tidur?" Mas Rusdi menggeliat. Mengagetkanku. Ia membuka matanya sedikit.

"Belum Mas...aku merasa kurang enak badan."

Mas Rusdi menatapku.

Tapi kemudian mata yang kucintai itu terpejam lagi.

***

Hari masih pagi ketika terdengar suara Ibu mertua ribut membangunkan Mas Rusdi.

"Rus! Kau harus segera menjemput dia! Dia sudah menunggu sejak tadi di setasiun!"

Dia? Ah, pasti itu tentang gadis yang mereka bicarakan semalam.

Mas Rusdi seketika menepis selimutnya. Gegas melompat. Tanpa memedulikanku, ia meraih kunci motor di atas meja dan berlalu meninggalkan kamar. Sebentar kemudian terdengar deru motor meninggalkan rumah. Aku menyibak tirai jendela. Menatap punggung suamiku yang menghilang di jalanan.

Aku kembali duduk di tepi ranjang. Terpekur menatap daun pintu yang terbuka sedikit. Wajah Ibu mertuaku muncul. Ia sepertinya kurang suka melihatku masih bergeming tanpa melakukan apa-apa.

"Mel! Hari ini kita akan kedatangan tamu. Kau tidak keberatan bukan membantu Mama memasak di dapur?"

"Tapi saya dapat shift pagi, Ma. Kemarin saya sudah dimarahi pimpinan karena datang terlambat."

Ibu mertuaku memberengut. Bapak mertua datang seraya menyilangkan handuk di lehernya. Ia menjejeri istrinya seraya berkata, "Mel itu kuat, Ma. Strong...Jadi ia bisa membantumu. Membantu kita. Dan yakinlah semua akan baik-baik saja."

Baik-baik saja? Diomeli pimpinan dengan kata-kata kasar, kerja dalam keadaan sakit...mereka menganggap itu baik-baik saja? Mataku terasa panas. Sebenarnya apa posisiku di mata mereka? Seorang menantu ataukah sapi perah? Aku bekerja banting tulang menghidupi seisi rumah. Bapak mertuaku menganggur, suamiku juga. Sedang Ibu mertua bisanya hanya mengajukan permintaan yang kadang---membuatku geram.

"Kuharap begitu, Pa. Apalagi setelah ini ada Prisca tinggal di rumah ini...kukira ia, si Prisca itu akan seperti Mel. Bisa diandalkan," Ibu mertua tersenyum ke arahku. Penuh arti.

Dan sepertinya perlahan aku mulai paham. Ketika sosok Prisca akhirnya benar-benar hadir, tinggal bersama kami, menumpang di rumah yang tidak seberapa besar ini, mataku mulai terbuka.  Melihat kehadiran gadis itu, aku seperti diingatkan pada masa lalu---masa-masa di mana awal aku terperangkap ke dalam sangkar emas keluarga Mas Rusdi.

***

Prisca itu sosok yang cantik. Ia lebih muda dariku beberapa tahun. Jangan katakan aku cemburu padanya. Tidak. Sama sekali bukan itu. Aku hanya merasa tersingkirkan, itu saja. Prisca telah mencuri perhatian mereka. Mas Rusdi menjadi super sibuk. Ia mengantar jemput ke mana saja yang Prisca mau. Juga Bapak dan Ibu mertua. Mereka tak henti menyanjung dan mengelu-elukan Prisca. Sama persis seperti yang pernah mereka lakukan terhadapku, dulu, ketika untuk pertama kalinya aku tinggal menumpang di rumah ini.

Sampai suatu malam, ketika aku baru saja pulang dari pabrik, kulihat Mas Rusdi tengah duduk berdua dengan gadis itu di teras rumah. Mereka tidak menyadari kehadiranku.

"Prisca, kamu itu cantik..." suara Mas Rusdi membuat langkahku seketika terhenti. Prisca menjawab pujian Mas Rusdi dengan tawa lirih yang manja.

"Mas Rus juga tampan...."

Aku berdehem. Keduanya terkejut dan menoleh.

"Melody? Kau sudah pulang?" Mas Rusdi bertanya gugup.

"Iya, Mas. Dan aku sangat lelah." Aku sengaja menekankan suaraku. Berharap Mas Rusdi berdiri dan menyongsongku. Tapi aku keliru. Justru Prisca-lah yang melenggang menghampiriku.

"Mbak Mel, sepertinya aku telah jatuh cinta---pada suamimu yang tampan ini."

***

Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan? Menampar gadis bernama Prisca itu, atau menyalahkan suamimu yang hidung belang? Atau mengadu kepada Bapak dan Ibu mertuamu agar mereka bisa menjadi penengah?

Sepertinya aku lebih memilih cara terakhir. Aku mengadu kepada Bapak dan Ibu mertua atas kelakuan Prisca. Ia telah lancang mengatakan hal yang seharusnya tidak ia lakukan terhadap suami orang.

Tapi apa tanggapan kedua orang tua suamiku?

"Mel, sudah biasa laki-laki itu merayu perempuan. Apalagi pada kenyataannya Prisca memang cantik," Bapak mertua tertawa terkekeh. "Dan mengenai ucapan Prisca yang berterus terang telah jatuh cinta terhadap suamimu, itu wajar. Rusdi memang pantas mendapatkannya. Harus diakui, ia lelaki penuh pesona. Satu lagi, Mel jangan kaget---kalau Prisca sudah bilang sama Ibu...ingin menjadi istri Rusdi."

Kalimat Bapak mertua yang terakhir bagai petir menyambarku. Aku terhuyung. Mataku berkunang-kunang. Keringat dingin membasahi keningku. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.

Dan, kukira sebentar lagi aku bakal pingsan.

***

Sebuah tangan menyentuh wajahku. Perlahan aku membuka mata.

"Melody? Kau sudah siuman?" wajah lembut itu menatapku cemas. Mbak Caca, ia menyodorkan segelas air putih ke  arahku. "Minumlah, Mel. Kau tadi sempat membuat Mbak  takut. Kau pingsan cukup lama."

Aku terdiam. Trauma masa lalu itu ternyata masih juga menguntitku. Sulit nian untuk melupakannya. Bahkan sampai aku pergi jauh meninggalkan tanah air, menyeberangi lautan, tak jua mampu membuat hatiku lupa.

"Semua orang punya masa lalu, Mel. Kau, aku, dan juga teman-teman yang lain. Semua dari kita pernah mengalami mimpi buruk. Tapi kalau boleh Mbak kasih saran, belajarlah untuk move on. Masa lalu tidak harus dilupakan. Mimpi buruk tidak boleh menjadikan kita trauma.  Kita bisa mengambil banyak pelajaran dan hikmah terbaik dari setiap kejadian." Mbak Caca tersenyum. Ia mengelus lembut punggung tanganku.

Entah mengapa, tiba-tiba---aku ingin menangis di pelukannya.

***

Malang, 16 Juni 2017

Lilik Fatimah Azzahra

NB: Diangkat dari kisah nyata MF...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun