Dan entah setan apa yang telah merasukiku, tiba-tiba saja aku ingin mencium bibirnya.
Gadis itu meronta. Sepertinya ia hendak berteriak. Melihat itu aku mulai panik. Tanpa sadar aku membungkam mulutnya dengan satu tanganku, sedang tangan yang lain masih mencengkeram erat pundaknya.
“Roy! Hentikan!” seseorang menghardikku. Aku menoleh. Ibu pengasuh berlari tergopoh menghampiri kami. Perempuan tua itu berusaha menolong gadis dalam cengkeramanku. Ia menarik lenganku sekuat tenaga. Serta merta aku menepis tangan keriput itu, dengan kasar. Ia terhuyung ke belakang. Tubuh gemuknya limbung, hilang keseimbangan. Dan tanpa ayal ia jatuh bergedebum di lantai.
“Roy! Roy!” berkali ia meneriakkan namaku. Sementara gadis dalam cengkeramanku berhasil meloloskan diri. Gadis itu berlari ke arah Ibu pengasuh yang masih terlentang di atas lantai.
“Ibu...sudah kubilang! Jangan korbankan mata Ibu untuk dia! Lihatlah, apa yang telah ia lakukan kepada kita...” gadis itu menangis seraya memeluk tubuh Ibu pengasuh.
Mendengar kata-kata gadis itu aku tertegun.
“Kau bilang ia mengorbankan matanya untukku?” aku mendekat. Suaraku bergetar.
“Kau..., coba kau lihat mata sebelah kiri Ibuku! Tidak ada bukan?" Gadis itu menatapku nanar.
"Ia terlalu mengasihimu. Terlalu menyayangimu! Padahal entah, anak siapa kau ini!" ia meluapkan amarahnya.
"Bisa jadi kau adalah anak seorang penjahat yang paling jahat di dunia ini!”
Sungguh, kata-kata terakhirnya membuat telingaku memerah. Mendadak hatiku terbakar. Aku merangsek maju. Kuraih rambut panjangnya yang tergerai. Kuhentakkan tubuh rampingnya ke belakang. Ia pun jatuh terjengkang bersebelahan dengan Ibu pengasuh.