Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku Biyanca, Bukan Biyan

18 April 2017   10:54 Diperbarui: 18 April 2017   11:30 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya aku tidak suka mengatakan hal ini. Tapi memendam perasaan sendiri sungguh sangat tidak nyaman. Begitu tersiksa. Jadi kukira aku butuh seseorang, teman atau siapa saja yang bersedia mendengarkanku.

Dan pilihanku jatuh pada sosok Ra.

“Sudah berapa lama hal ini terjadi padamu, Biy?” seperti biasa Ra menanggapi keluh kesahku dengan tenang.

Aku terdiam. Menatap sorot mata Ra. Memastikan apakah ia benar-benar peduli padaku.

“Kau harus ceritakan semua secara detil, Biy. Jangan sepotong-sepotong,” Ra membujukku. Ia menghadiahkan sebuah senyuman. Senyum manis yang membuatku menyerah.

Dan mulailah aku menceritakan semuanya kepada Ra. Semua, tak ada yang kusembunyikan.

“Aku jadi ingin menyaksikannya sendiri, Biy, dengan mata kepalaku. Benarkah kau---mengidap penyakit aneh seperti yang kau ceritakan.”

***

Malam itu juga Ra memutuskan untuk mengadakan penelitian terhadap diriku. Aku tidak bisa mencegahnya. Walau sudah kuperingatkan, tapi Ra tetap ngotot ingin menginap di rumahku. Ia beralasan, yang dilakukannya ini berhubungan erat dengan pekerjaannya, sebagai seorang psikiater.

Ra menempati kamar tamu yang bersebelahan dengan kamarku. Kami baru saja menyelesaikan makan malam. Duduk-duduk sebentar kemudian bersiap-siap menuju kamar tidur.

Mendadak kepalaku terasa pusing. Itulah gejala penyakit aneh yang kuderita bakal muncul.

“Ra, kau boleh tidur duluan. Aku harus minum obat dulu," aku berdiri.

“Tidak Biy...aku akan menunggumu.”

“Sampai kau melihat hal yang mengerikan terjadi padaku?”

Ra tidak menyahut. Ia hanya mengangkat bahu.

Baru saja hendak melangkah menuju kamar, mendadak perubahan itu sudah terjadi pada tubuhku. Perubahan yang nyaris membuat Ra terjengkang karena terkejut.

Aku, Biyan, yang semula adalah seorang laki-laki, tiba-tiba saja berubah menjadi seorang perempuan.

“Aku Biyanca,” suaraku pun berubah menjadi suara khas perempuan. Terdengar empuk dan lembut. Ra terpana. Ia mundur beberapa langkah, mengatur napas sebentar. Tapi kemudian wajahnya tampak tenang kembali.

“Selamat datang Biyanca. Aku Ra, teman Biyan.” Ia menghampiriku. Menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.

“Biyan? Siapa dia?” aku mengernyitkan alis. Ra mengangkat dagunya sedikit.

“Biyan itu teman dekatku, seorang lelaki, tampan. Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu.”

“A-pakah ia menyenangkan?”

“Oh, tentu saja!”

Aku menelan ludah.

“Apa saja yang pernah kalian lakukan?”

“Kami sering makan siang bersama. Atau—duduk-duduk berdua menghabiskan senja di taman kota pada setiap akhir Minggu.”

Aku terdiam. Meraba sesuatu. Bibirku! Setelah makan tadi aku lupa mengolesinya dengan lipstik.

Kuraih tas berwarna merah marun yang tergeletak di atas bufet. Dari dalam kantungnya kukeluarkan alat-alat kosmetik. Kemudian tanpa mengindahkan kehadiran Ra, aku mulai berdiri di depan cermin yang tergantung pada dinding ruang tamu.

Aku menguncir rambutku dengan karet gelang. Lalu mulai melukis alis dengan pensil coklat tua. Kuawali dari pangkal alis sebelah kanan hingga melengkung ke ujung. Perlahan dan sangat hati-hati. Kulakukan hal yang sama pada alis sebelah kiri.

Kedua mataku berkejap-kejap. Kudekatkan wajah pada cermin untuk memastikan apakah kedua alis yang kulukis sudah simetris dan seimbang.

Sekarang tinggal menyapukan lipstik warna kesukaanku, pink.

“Kau berubah menjadi gadis yang cantik, Biyan,” Ra tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. Wajahnya yang tenang tersembul di dalam cermin.

“Kau menikmatinya?” Ia berbisik. Seketika aku berbalik badan. Kulihat Ra tengah menyandarkan tubuh langsingnya pada punggung kursi. Tatapannya tak lepas dariku.

“Me-nik-ma-ti apa?” aku tergagap.

“Menikmati keanehan yang terjadi pada dirimu. Kau mengalami Gangguan Identitas Disosiatif, Biyan.”

“Kau sok tahu!” aku mulai tidak suka dengan kata-kata Ra. Ra bergeming.

“Jadi siapa kau ini sesungguhnya? Biyan atau Biyanca?” Ia bertanya setengah mengejek.

“Lihatlah, kau tampak sangat linglung, Ra tertawa. Menertawakan diamku. Wajahku seketika memerah.

“Semua terjadi karena kau membiarkan dirimu terjebak dalam pribadi ganda itu, Biyan. Kau tidak berusaha mencegahnya. Kenapa? Karena kau menikmatinya.”

“Kau mulai menyebalkan, Ra!”

“Terserah apa katamu. Tapi aku harus mengatakan ini. Aku---menyukaimu sebagai Biyan.”

Deg. Dadaku serasa dihantam batu sebesar gunung.

“Sejak kapan?” suaraku bergetar.

“Sejak pertama kali kami bertemu.”

Aku masih berdiri mematung.

“Sekarang, apakah kau masih menyukainya? ” tanyaku bimbang. Ra maju beberapa langkah. Ia mengulurkan tangannya, tersenyum manis, lalu menjatuhkan diri dalam pelukanku.

“Sudahi semuanya, Biyan. Kau ini seorang laki-laki. Kembalilah menjadi dirimu sendiri. Aku...sangat mencintaimu.”

Aku mendesah. Mengangkat wajah Ra perlahan, mengelus lembut pipinya, meraba hidung dan menyentuh rambut di atas telinganya. Lalu tanganku berhenti sejenak pada lehernya yang jenjang.

Ra memejamkan mata. Napasnya tertahan. Aku tahu ia tengah menunggu sesuatu yang indah dariku. Sebuah ciuman.

Kudekatkan wajahku perlahan. Ra memajukan bibirnya yang ranum.

Tapi tunggu! Aku sama sekali tidak ingin menciumnya. Aku hanya---ingin mencekik lehernya.

“Bi-yan...apa yang kau lakukan?” tubuh Ra menggelonjot, menegang, menahan cengkeraman tanganku.

“Ra, aku Biyanca! Bukan Biyan! Kau dengar?” aku menggeram.

“Lepaskan...” Ra meronta. Suaranya mengecil.

“Tidak akan!”

“A-pa maksudmu?” ia semakin menggelepar.

“Belum mengerti juga ya? Aku mencintai Biyan! Dan kau tidak boleh merebutnya dariku!”

Sejenak mata Ra melebar, seperti hendak mencuat keluar. Lalu tubuhnya yang langsing itu terkulai. Ia jatuh, bergedebum di atas lantai marmer yang dingin.

Mungkin ia hanya pingsan. Atau bisa juga sudah mati.

Aku tak peduli.

Aku berjalan menuju cermin. Berdiri anggun di hadapannya. Kusibakkan rambutku yang berantakan.

“Selamat malam, Nona Biyanca. Sudahkah kau catat hari ini? Ra---adalah korbanmu yang kesekian.”

***

Malang, 18 April 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun