“Oh, tentu saja!”
Aku menelan ludah.
“Apa saja yang pernah kalian lakukan?”
“Kami sering makan siang bersama. Atau—duduk-duduk berdua menghabiskan senja di taman kota pada setiap akhir Minggu.”
Aku terdiam. Meraba sesuatu. Bibirku! Setelah makan tadi aku lupa mengolesinya dengan lipstik.
Kuraih tas berwarna merah marun yang tergeletak di atas bufet. Dari dalam kantungnya kukeluarkan alat-alat kosmetik. Kemudian tanpa mengindahkan kehadiran Ra, aku mulai berdiri di depan cermin yang tergantung pada dinding ruang tamu.
Aku menguncir rambutku dengan karet gelang. Lalu mulai melukis alis dengan pensil coklat tua. Kuawali dari pangkal alis sebelah kanan hingga melengkung ke ujung. Perlahan dan sangat hati-hati. Kulakukan hal yang sama pada alis sebelah kiri.
Kedua mataku berkejap-kejap. Kudekatkan wajah pada cermin untuk memastikan apakah kedua alis yang kulukis sudah simetris dan seimbang.
Sekarang tinggal menyapukan lipstik warna kesukaanku, pink.
“Kau berubah menjadi gadis yang cantik, Biyan,” Ra tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. Wajahnya yang tenang tersembul di dalam cermin.
“Kau menikmatinya?” Ia berbisik. Seketika aku berbalik badan. Kulihat Ra tengah menyandarkan tubuh langsingnya pada punggung kursi. Tatapannya tak lepas dariku.