Kukira lebih baik berada di dalam kamar ketimbang bertemu pandang dengan lelaki itu.
***
Meski sudah hampir sebulan kami tinggal bersama, kecanggungan masih melandaku. Kau tahu apa sebabnya? Lelaki yang menjadi suami Ibuku, usianya terpaut jauh. Ia lebih muda beberapa tahun dari usia Ibu. Ia---lebih pantas menjadi kakakku.
Tapi aku tahu, Ibu sangat mencintai lelaki itu. Jika tidak, mana mungkin Ibu bersedia menikah dengannya? Bukankah landasan utama seseorang memutuskan untuk hidup bersama adalah saling mencintai?
Tunggu! Tentang hati Ibu, aku sama sekali tak meragukannya. Tapi bagaimana dengan hati lelaki itu? Apakah ia benar-benar mencintai Ibu?
Duh, kenapa timbul pikiran norak seperti itu dalam benakku? Entahlah.
***
Suatu siang, sepulang sekolah, kulihat rumah dalam keadaan sepi. Aku masuk begitu saja karena kukira tak ada orang di rumah.
Ternyata aku salah. Aku mendengar suara desah di kamar depan. Ibu dan suaminya, mereka sedang memadu cinta. Huft, siang-siang begini. Ah, sudahlah. Itu urusan mereka.
Meski aku berusaha mengabaikan suara-suara itu, tetap saja telingaku tergelitik. Tawa manja Ibu, ah.
“Ayu?” tetiba terdengar seseorang memanggilku. Lelaki itu! Ia membuka pintu kamar dan tampak terkejut melihat aku berdiri di ruang tamu.