Tuk, tuk, tuk, tuk. Bunyi apa itu? Sepagi ini sudah ribut mengganggu tidurku. Hujan? Bukan. Hujan akhir-akhir ini sudah jarang turun. Banyak yang mengeluh, sih. Terutama yang tinggal di kota-kota besar. Mereka suka sekali menyalahkan dan mengkambinghitamkan hujan. Terlambat ke kantor katanya gegara hujan. Jalanan macet yang disalahkan hujan. Banjir melanda, eh, memaki-maki hujan. Tentu saja hujan jadi sedih. Lalu memutuskan untuk purik tidak mau turun lagi.
Tuk, tuk, tuk, bunyi itu terdengar lagi. Terpaksa kaki turun dari pembaringan. Menuju jendela di mana suara mencurigakan itu berasal.Â
Ada sesuatu bergerak-gerak di bibir jendela.Â
"Hai, selamat pagi!"Â
"Si-apakah kamu?" daku terkejut dan mundur beberapa langkah.Â
"Buka dulu jendelanya."Â
Antara takut dan penasaran daku membuka jendela.Â
"Aku adalah cinta!" sesuatu itu berseru. Riang. Mengagetkan. Kupicingkan mata. Menatap dalam-dalam sesuatu yang bergerak-gerak itu. Oh, ternyata ia lembut, berwarna merah jambu.Â
"Sini, mendekatlah. Kita berbincang-bincang sejenak. Sebelum matahari terbangun dan merebut perhatianmu." esuatu yang mengaku cinta itu melambaikan tangan, tersenyum ramah ke arahku. Giginya yang gingsul mencuat sedikit. Manis.
"Benar kamu ini cinta?" daku masih meragu.Â
"Kamu masih trauma, ya? Gegara bertemu cinta yang kemarin itu?"
"Iya, cinta yang kemarin itu...jahat. Ups!"
Cinta merah jambu tertawa. Daku memberengut. Tapi hanya sebentar. Kusandarkan kedua siku pada bingkai jendela. Menatap cinta yang entah mengapa, tak juga berhenti bergerak-gerak.
"Kau mau kopi?" tawarku.
"Boleh. Tapi jangan terlalu manis, ya. Kan aku sudah manis...." Ia mengikik lagi. Huft, cinta. Ternyata ia bisa melucu juga.
"Jangan kemana-mana, ya!" pesanku riang. Daku melangkah menuju meja. Menyeduh secangkir kopi.
Saat kembali ke jendela, kulihat cinta sudah tidak ada lagi.
***
Tuk, tuk, tuk. Terdengar bunyi itu, pagi-pagi sekali. Kali ini daku sudah tahu, itu pasti cinta. Tangan menyibak selimut, kaki gegas melangkah menuju jendela. Berharap melihat cinta merah jambu tersenyum, memamerkan gigi gingsulnya yang mencuat. Manis.
"Hai, selamat pagi!" sesuatu berseru, bergerak-gerak lincah di luar jendela.Â
"Cinta?"Â
"Kaget, ya? Beginilah aku. Warnaku setiap hari berubah-ubah. Sesuai dengan perasaanmu."
Daku terdiam. Memandang cinta yang pagi ini tak lagi berwarna merah jambu, melainkan biru.
"Oh, itu, ya! Daku memang belum move on dari cinta yang itu..." daku tersipu.
"Biru mengharu," cinta bergumam.
"Mau secangkir kopi?"
"Tidak, terima kasih.
***
Tuk, tuk, tuk. Hati melonjak gembira. Semalaman daku tak bisa memicingkan mata. Menunggu pagi. Ingin segera bersua dengan sesuatu yang kemarin berwarna biru.
Jemari tergesa membuka jendela. Tapi kemudian terhenti.Â
"Cinta?"Â
"Iya," cinta menyahut sedih. Daku terpana. Ada apa dengan cinta pagi ini? Mengapa ia tak bergerak-gerak seperti biasanya? Dan, warnanya itu, kelabu!
"Sampai kapan akan seperti ini? Kau tahu, aku mengikuti suasana hatimu," cinta mengeluh.Â
"Maafkan daku," kusandarakan kepala pada bibir jendela. Menatap jalanan yang masih sepi.
***
Tak...tik...tak...tik. Bunyi itu berubah. Tak lagi tuk, tuk, tuk seperti seperti biaanya. Agak sempoyongan kaki turun dari pembaringan. Membuka daun jendela dan, oh, kulihat seorang bocah perempuan, cantik, berambut ikal berdiri tak jauh dari jendela. Bocah itu menatapku dengan pandang sayu.
"Mama..." bibir bocah itu bergerak. Mama? Apakah ia memanggilku?
Daku melambaikan tangan ke arahnya. Bocah itu mendekat.
"Mama, lihatlah bunga-bunga yang pernah kita tanam berdua, kini tumbuh bermekaran. Aku memetikkan beberapa untukmu." Bocah itu menyerahkan seikat bunga cantik ke arahku.Â
Tik...tik..tik. Itu bunyi rintik hujan.
Seorang lelaki menggamit lengan bocah itu. "Mari kita pulang, sayang. Besok kita ke sini lagi."Â
Dari bibir jendela daku murung. Menatap jejak-jejak kaki yang terhapus hujan.
"Waktunya minum obat!" seorang perawat menyentuh pundakku.
"Suster, siapa mereka?" tanyaku seraya memejam mata.
"Siapa?"
"Seorang bocah dan lelaki yang baru saja pergi."
Suster tersenyum. Memamerkan giginya yang gingsul. Manis.
"Mereka adalah cinta sejatimu.Yang setiap pagi berdiri di dekat jendela kamarmu. Jadi cepatlah sembuh!"
Tuk, tuk, tuk. Bunyi itu lagi.Â
Sesuatu bergerak-gerak di bibir jendela. Warnanya merah.
***
Malang, 24 Maret 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H