Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rembulan dalam Keranjang

19 Juli 2016   13:38 Diperbarui: 20 Juli 2016   01:25 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
istana-puisiku.blogspot.com

Kau tahu? Semalam saat aku terpekur memikirkanmu di ambang jendela, kulihat rembulan terpeleset jatuh dari angkasa. Ia terjerembab ke dalam keranjang yang tergeletak di kebun samping rumahku.

"Apakah kau terluka?" tanyaku was-was. Sungguh, aku khawatir rembulan bulat yang indah itu mengalami cedera.

"Kurasa tidak. Hanya memar sedikit," rembulan menjawab sembari meringis. Memamerkan sederetan giginya yang putih. 

"Syukurlah," aku menarik napas lega.

Rembulan masih menggelinjang dalam keranjang. Cahayanya yang terang sedikit menyilaukan mata. 

"Apakah kau baik-baik saja?" rembulan berbalik menanyaiku. Aku terdiam.

"Jangan menahan air mata. Jika ingin menangis, menangis saja," lanjut rembulan. Cahayanya meredup. Ia menatapku berlama-lama. Seolah hendak menelanjangi perasaanku. Tak kuasa aku membalas tatapannya. Dadaku menyesak.

"Kau masih menunggunya?" kembali rembulan bertanya. Lirih. Aku mengangguk.

"Kau sungguh bodoh. Teramat sangat bodoh. Kau tahu apa yang kau lakukan itu sia-sia, tapi kau tetap saja melakukannya," rembulan bergumam sedih.

"Ya, aku tahu. Tapi...."

"Lupakan dia! Jangan buang waktumu hanya untuk memikirkan laki-laki yang belum tentu memikirkanmu."

"Bagaimana caranya?" mataku berkaca-kaca.

"Ikutlah denganku. Ke angkasa."

***

Rembulan bergerak-gerak gelisah. Ia berusaha keluar dari dalam keranjang.

"Apakah kau perlu bantuanku?" tanyaku menawarkan.

"Tolong gulingkan. Aku ingin bebas dari benda berbentuk aneh ini."

Segera kukerahkan tenagaku. Ups! Ternyata tubuh rembulan berat juga. Ngos-ngosan aku mendorong keranjang berisi dia. Keranjang bergeming. Hanya sedikit miring.

"Hup! Akhirnya..." rembulan berseru girang. Ia menggelinding. Kemudian melompat lincah di atas rerumputan. Memantul-mantulkan diri ke sana kemari.

"Sudah lama aku memimpikan ini. Turun ke bumi. Memeluk dan mencium tanah," rembulan menatapku sembari tersenyum renyah. Kulihat kebahagiaan memancar dari wajahnya yang bulat. Pipi tembemnya merona jingga. 

"Tidak ada hal yang mustahil, bukan? Kau telah mematahkan peribahasa, bagai rembulan merindukan pungguk," aku menimpali. Sengaja membalik peribahasa itu untuk menggodanya. Mendengar kata-kataku rembulan menghentikan gerakannya. Ia menghampiriku. 

"Kau berkata begitu sesungguhnya untuk menghibur dirimu sendiri," rembulan mengejekku. Aku tertawa. Sekarang aku mulai berani membalas tatapannya. 

***

Malam kian bergulir. Rembulan kelihatan sudah lelah. Ia duduk terdiam di sampingku.

"Kau ingin kembali ke angkasa?" tanyaku. Rembulan tidak menyahut.

"Malam menjadi gulita karena kepergianmu," lanjutku. Rembulan beringsut.

"Kau mau ikut bersamaku?" ia bertanya lirih. "Di angkasa kau pasti bisa melupakannya." 

Aku menimbang-nimbang. Beberapa saat kemudian aku mengangguk.

Rembulan memintaku memeluknya. Lalu ia mengambil ancang-ancang dan memantul dengan gerakan gesit. Mula-mula pantulannya tidak seberapa. Tapi pada pantulan berikutnya, kami melenting sangat tinggi di udara. Menembus batas cakrawala. Menuju zona hampa udara.

Di ruang hampa udara aku tak bisa lagi memeluk rembulan. Tubuhku melayang-layang tak tentu arah. 

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling angkasa. Mengapa begitu lengang? Hanya ada aku dan rembulan yang sesekali saling bertatapan.

Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Aku merindukan bumi.

"Angkasa bukan tempatku," ujarku setengah mengeluh. "Aku ingin pulang."

"Banyak yang memimpikan datang kemari. Mengapa secepat itu kau ingin kembali?" rembulan menatapku heran. "Bersenang-senanglah dulu di sini."

Aku menggeleng.

"Baiklah. Kuantar kau ke lubang langit," akhirnya rembulan mengalah. Tampaknya ia tak ingin berdebat denganku.

***

Lubang langit menganga cukup lebar. Aku berdiri di tepiannya. Rembulan yang melayang di belakangku, tiba-tiba  mendorongku. Aku terkejut dan tergelincir. Tubuhku meluncur ke bumi dengan laju kecepatan cahaya. Blug! Aku terjerembab. Jatuh tepat ke dalam keranjang yang tergeletak di kebun samping rumahku.

Ah, rembulan, ia membohongiku. Jatuh dari angkasa itu ternyata sangat menyakitkan. Bukan hanya memar di sekujur tubuhku. Tapi tulang-belulangku pun serasa remuk redam.

Rembulan juga pandai berdusta. Ia bilang, di angkasa aku pasti bisa melupakanmu. Tapi ternyata tidak. Di sana aku masih juga tak berhenti memikirkanmu. 

Kau tahu? Aku jadi enggan mempercayai rembulan.

Dan andai rembulan terjatuh lagi ke dalam keranjang, aku berjanji, tak akan sudi menolongnya untuk kedua kali.

*** 

Malang, 19 Juli 2016

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun