Aku dan Jeny sangatlah mirip. Sulit dibedakan. Bukan hanya wajah, cara kami berjalan, tersenyum, bahkan terbatuk pun, sama persis. Kami ibarat satu ruh dalam dua raga. Pikiran kami sama. Selera kami juga sama.
Keadaan ini membuat kami bisa melakukan hal-hal yang  mengasyikan. Saling bertukar tempat, atau saling menggantikan jika salah seorang dari kami sedang mengalami bad mood. Â
Teman-teman, guru-guru di sekolah, juga kerabat, sering terkecoh. Hanya satu orang yang tak pernah keliru. Mom.
Terkadang aku dan Jeny merasa heran. Bagaimana mungkin Mom tidak pernah salah mengidentifikasi kami? Padahal, seperti yang sudah kujelaskan, kami ini benar-benar identik.
"Mom, apakah kau menandai kami?" kami bertanya berbarengan. Mom hanya tertawa tanpa menjelaskan apa-apa.
Ah, tentu saja kami semakin penasaran. Hingga kami berbuat nekad. Kami saling memeriksa tubuh kami saat mandi bersama. Berusaha mencari tanda yang barangkali digunakan oleh Mom untuk membedakan kami.
Inilah tanda-tanda yang kami temukan.
Jeny memiliki tahi lalat tepat di pangkal paha sebelah kiri. Eh, tapi aku juga punya!
Jeny memiliki luka kecil di dekat telinga sebelah kanan. Ups, aku juga!
"Jiny, kau memiliki jerawat di balik ponimu!" Jeny berseru. Aku meraba keningku. Benar. Ada jerawat kecil di sana. Tapi kulihat Jeny juga melakukan hal yang sama. Ia tengah mengelus-elus jerawat di keningnya.
Akhirnya kami tertawa berderai.Â
Kami menyerah. Biarlah hanya Mom yang tahu tanda apa yang sesungguhnya kami miliki untuk menjadi pembeda bagi kami.
***
Kau pikir identik itu selamanya menyenangkan? Ternyata tidak. Masalah mulai timbul ketika kami, aku dan Jeny tumbuh menjadi gadis remaja dan mulai jatuh cinta. Bisa ditebak. Kami mencintai satu orang  yang sama. Jim. Kakak kelas kami.
Perkenalan kami dengan Jim bermula saat sekolah mengadakan turnamen basket antar SMU. Jim dan timnya keluar sebagai juara favorit. Sebagai anggota cheerleader aku dan Jeny berkesempatan mengucapkan selamat secara khusus kepada Jim dan teman-temannya. Itulah awal mula timbul ketertarikan kami pada cowok bertubuh atletis itu.
"Wah, kalian kembar ya?" Jim terbelalak saat melihat kami. Aku dan Jeny berebut meraih tangannya. Dan tak satupun di antara kami yang mau mengalah. Mata kami saling bersitatap. Menyorot penuh kebencian. Untuk pertama kalinya timbul persaingan di hati kami. Â
"Asyik juga berteman dengan cewek kembar. Kapan-kapan bolehkah aku berkunjung ke rumah kalian?" Jim menjabat erat tangan kami.Â
"Boleh banget..." aku dan Jeny menyahut berbarengan. Jim tertawa.
***
Oh, ya, belum kuceritakan, walau belajar di sekolah yang sama, tapi kelas kami berbeda. Meski begitu tak menghalangi niat kami untuk melakukan hal-hal konyol yang membuat para pengajar kami pusing tujuh keliling.
"Ini Jiny apa Jeny?" selalu pertanyaan itu yang terlontar dari mulut mereka saat memasuki ruangan. Dan siapapun kami, hanya menjawab dengan senyuman. Membiarkan para pengajar itu menebak-nebak sampai rambut mereka rontok.
Asal tahu saja. Kami suka bertukar-tukar kelas sesuka hati kami.
Tapi belakangan ini kami tidak lagi melakukan hal-hal iseng. Sejak pikiran kami tertuju pada Jim. Kami lebih banyak diam. Saling memendam perasaan masing-masing.
Seperti siang itu, sosok yang tengah menguasai pikiran kami tiba-tiba muncul dari koridor sekolah. Tentu saja hal ini mengagetkan. Wajah kami sontak berubah memerah.
"Halo, twins, nanti sore aku akan mengunjungi kalian. Tunggu, ya!" ia melambaikan tangan sebelum berlalu menuju area parkir.
Aku dan Jeny saling berpandangan.
***
Mom menghampiri kami. Melihat pakaian yang bertumpuk di atas kasur.
"Hmm, boleh kutebak? Akan ada tamu istimewa-kah?" Mom tersenyum penuh arti. Aku dan Jeny mengangguk bersamaan.
"Dua cowok keren?" Mom menelengkan kepalanya. Kali ini aku dan Jeny menggeleng. Mom mengernyitkan alis. Kemudian tanpa bertanya apa-apa lagi Mom meninggalkan kamar yang berantakan.
"Huft, alangkah sulit memilih baju yang tidak kembaran!" Jeny mengeluh.
"Yup, kenapa juga dari tadi pilihan kita jatuh pada kemeja warna kuning dan jins pendek belel ini?" aku ikut menggerutu. Kuhempaskan tubuhku di sisi Jeny.
Ting! Tong! Bel rumah berbunyi. Itu pasti Jim. Kami bergegas meraih pakaian yang berserak. Kemeja warna kuning dan jins pendek dalam waktu yang bersamaan menempel pada tubuh kami.
***
Jim berdiri di ambang pintu dengan dua kuntum bunga mawar di tangannya.
"Halo cantik. Eh, mana kembaranmu?" ia bertanya saat melihat hanya satu di antara kami yang muncul menemuinya.
"Ia sedang tak enak badan."
"Benarkah? Bolehkah aku menjenguknya?" Jim memaksa. Ia menerobos masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka sedikit.
Aku terlambat mencegahnya.
Dan cowok itu berdiri terpaku di ambang pintu dengan wajah menegang. Menatap sosok  mungil yang mengenakan kemeja kuning serta jins pendek, terbujur kaku di atas lantai. Bersimbah darah.
Siapa yang mati? Aku atau Jeny?
Aku menatap Mom dengan gemetar.
Ah, pasti dengan mudah Mom bisa menebaknya. Mom juga pasti tahu, siapa di antara kami yang sudah menjadi seorang pembunuh.
Mom meraih kepalaku. Membenamkannya dalam pelukannya.
"Sayang, tenanglah, kita hanya sedang mengalami fenomena Doppelganger..." Mom membisikiku.
***
Malang. 20 Juni 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Fenomena Doppelganger= Double Walker adalah kondisi di mana seseorang bisa melihat pantulan atau kembaran misterius dirinya sendiri .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H