Kami menyerah. Biarlah hanya Mom yang tahu tanda apa yang sesungguhnya kami miliki untuk menjadi pembeda bagi kami.
***
Kau pikir identik itu selamanya menyenangkan? Ternyata tidak. Masalah mulai timbul ketika kami, aku dan Jeny tumbuh menjadi gadis remaja dan mulai jatuh cinta. Bisa ditebak. Kami mencintai satu orang  yang sama. Jim. Kakak kelas kami.
Perkenalan kami dengan Jim bermula saat sekolah mengadakan turnamen basket antar SMU. Jim dan timnya keluar sebagai juara favorit. Sebagai anggota cheerleader aku dan Jeny berkesempatan mengucapkan selamat secara khusus kepada Jim dan teman-temannya. Itulah awal mula timbul ketertarikan kami pada cowok bertubuh atletis itu.
"Wah, kalian kembar ya?" Jim terbelalak saat melihat kami. Aku dan Jeny berebut meraih tangannya. Dan tak satupun di antara kami yang mau mengalah. Mata kami saling bersitatap. Menyorot penuh kebencian. Untuk pertama kalinya timbul persaingan di hati kami. Â
"Asyik juga berteman dengan cewek kembar. Kapan-kapan bolehkah aku berkunjung ke rumah kalian?" Jim menjabat erat tangan kami.Â
"Boleh banget..." aku dan Jeny menyahut berbarengan. Jim tertawa.
***
Oh, ya, belum kuceritakan, walau belajar di sekolah yang sama, tapi kelas kami berbeda. Meski begitu tak menghalangi niat kami untuk melakukan hal-hal konyol yang membuat para pengajar kami pusing tujuh keliling.
"Ini Jiny apa Jeny?" selalu pertanyaan itu yang terlontar dari mulut mereka saat memasuki ruangan. Dan siapapun kami, hanya menjawab dengan senyuman. Membiarkan para pengajar itu menebak-nebak sampai rambut mereka rontok.
Asal tahu saja. Kami suka bertukar-tukar kelas sesuka hati kami.