Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surga yang Terbagi

10 Juni 2016   19:00 Diperbarui: 2 Oktober 2023   15:47 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiada yang lebih membahagiakan selain berbagi. Kita bisa menikmati hidup dengan sesuatu yang kita peroleh, tapi kita hanya akan memperoleh arti kehidupan dengan sesuatu yang kita berikan. (Norman MacEwan)

Berkali aku membaca kalimat di atas. Memasukkan ke dalam otakku untuk kemudian mencernanya dalam hati. Sudahkah hidupku berarti? Jika sudah tentulah aku bahagia tidak saja secara lahir, tapi juga batin. Tapi kurasa aku belum berani untuk bahagia. Nyatanya aku masih berpikir seribu kali ketika suamiku, Mas Bram meminta izin untuk menikah lagi.

Aku masih bimbang. Untuk berbagi yang satu ini aku masih harus menghitung bintang.

Pernikahan ibarat surga. Di mana penghuninya halal mereguk manisnya madu bahagia. Lantas haruskah aku rela berbagi surga dengan yang lain? Bukankah untuk mendapatkan surga itu aku telah berjuang mati-matian selayak petarung di medan laga? 

Tak ada jalan mulus untuk mencapai sebuah tujuan. Demikian juga dengan perjuanganku untuk mendapatkan cinta Mas Bram.

Mas Bram adalah surgaku. Imamku. Di hatinya kutemukan telaga ketenangan. Di matanya kunikmati keteduhan. Setiap sentuh jemarinya adalah kasih lembut yang kudamba. Dan, desah napasnya adalah asa kehidupanku. 

Ah, perempuan, dari dulu selalu mengandalkan perasaan.

Ya, aku bukan Tuhan yang dengan ke-Mahapemurahan-Nya memberikan surga tanpa pilih kasih kepada makhluknya yang beriman. Aku hanya manusia biasa. 

Sekali lagi, aku hanya seorang pecundang yang kalah sebelum berperang.

"Tak usah pergi. Tetaplah tinggal  bersamaku," Mas Bram menahanku. Tak ada yang berubah. Sikapnya masih tetap lembut. Jika ada yang berubah, kemungkinan itu adalah hatiku sendiri.

"Aku tak bisa berbagi," ujarku tanpa berani membalas pandang matanya.  

"Tak harus begitu, Zara. Karena...apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu," ia berusaha merengkuhku. Hatiku bergetar. Antara cinta dan benci. Antara rindu dan dendam.

"Jika kau mencintaiku, tak seharusnya kau meminta hal yang tak bisa kulakukan," air mataku mulai memburai. Mas Bram terdiam. 

Perlahan kutinggalkan surga itu. Demi ketidakrelaanku.

Dan mulailah, sejak pembicaraan itu kubangun nerakaku sendiri.

***

Dalam cinta, semakin sedikit kamu melihat dengan matamu, semakin banyak kamu akan melihat dengan hatimu.

Barangkali itulah yang kini tengah kurasakan. Aku tak bisa melihat Zara dalam jarak terdekat lagi. Tidak sebebas hari-hari kemarin saat kami masih bersama. Aku tak menemukan lagi senyum manisnya yang mampu mengalahkan hangatnya sinar mentari.

Ia memilih pergi ke rumah orang tuanya karena keegoisanku. Benarkah aku ini laki-laki egois? Mengapa begitu sulit bagi lelaki sepertiku menempatkan diri saat keinginan itu muncul? Sekalipun kuyakini semua ini pasti ada campur tangan Allah di dalamya.

Aku menatap wajahku yang membias di dalam cermin. 

"Kamu terlalu dangkal mengambil keputusan, Bram," suara Ibu mengagetkanku.

"Tapi Ibu bisa menerima kedangkalan keputusan Ayah," sahutku tanpa bermaksud mengingatkan luka lama. Ibu hanya tersenyum. Tangan lembutnya mengelus kepalaku seolah aku tak pernah tumbuh besar di matanya.

"Tak banyak wanita di dunia ini yang sudi dimadu, Bram. Jika Zara salah satu di antara mereka, hargai itu."

Aku terdiam. 

"Apalagi kita hidup di tempat yang masih sulit menerima poligami, sekalipun agama membolehkannya," lanjut Ibu lirih. Mungkin perih.

"Dan dampak dari penolakan itu, kian marak perselingkuhan," aku menyela dengan seulas senyum getir. 

"Bram, itulah salah satu alasan mengapa ibu merelakan ayahmu berpoligami. Selain karena ayahmu ingin menyelamatkan wanita itu dari keterpurukan, ibu tak ingin melihat orang yang ibu cintai melakukan dosa tak terampuni. Perzinahan..." kembali ibu mengelus kepalaku.

Aku menatap wajah Ibu. Kulihat cinta yang tulus tersimpan dalam mata tuanya. Sayangnya banyak yang salah menafsirkan. Ketulusan Ibu menerima dimadu, dianggap sebagai kesalahan dan kebodohan besar.

"Biarlah orang mau bicara apa. Kami saling mencintai tidak hanya untuk di dunia, Bram. Tapi juga untuk di akhirat. Terlalu kejam bagiku membiarkan orang yang kucintai masuk neraka akibat berbuat dosa yang sebenarnya masih bisa kucegah." 

Lalu keheningan menguasai. 

Kami sama-sama diam. 

Tapi kami tahu, semasing hati kami bicara cukup banyak.

***  

Cinta layaknya angin, ia mampu menggerakkan apa yang ditiupnya. Juga seperti air yang bisa menghidupkan segalanya. Pun seperti bumi yang dapat menumbuhkan apa saja.  

Laras memegang leher gelas di hadapannya. Sesekali ia memutar gelas itu untuk mengusir kegelisahan.

"Sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu?" suara Ajeng, sahabatnya, tak mampu membuatnya bicara. Laras masih berkutat dengan perasaannya sendiri.

"Kau akan menuai banyak kecaman, Laras. Karena telah merebut suami orang," Ajeng melanjutkan. Laras melempar pandangannya pada isi gelas yang mulai mendingin.

"Aku tidak merebutnya. Kami saling mencintai. Dan, kami ingin menghalalkan cinta kami di hadapan Allah. Apakah menikah untuk memperoleh ridho-Nya merupakan kesalahan fatal? Apakah kau juga akan ikut-ikutan mengecamku?" bisik Laras tertahan. Ajeng menyentuh punggung tangan sahabatnya itu.

"Kau minta jawaban apa dariku? Jujur atau bohong?"

"Jujur."

"Jika harus jujur, kukatakan, ya, aku ikut mengecam keputusanmu." 

Laras mendesah. Tiba-tiba saja ia merasakan hidupnya begitu rumit sejak ia jatuh cinta pada Bram, lelaki yang sudah beristri itu. Tidak semua orang sepaham dengan pemikirannya.

"Jauh-jauh hari sudah kuperingatkan, jangan menuruti perasaanmu. Cinta telah membutakanmu, Laras. Mengapa mesti Bram?" Ajeng ikut-ikutan menarik napas panjang.

"Ya, mengapa mesti Bram?" Laras bergumam. Mengulangi lagi kata-kata yang diucapkan Ajeng.

"Masih ada waktu untuk memikirkannya kembali. Sebelum perempuan di seluruh dunia ini membencimu."

Ajeng berdiri. Menatap sahabatnya sejenak. Lalu pergi tanpa menoleh lagi.

*** 

Azan Magrib menghentikan pikiran kusutnya. Laras meneguk sedikit teh dingin untuk membatalkan puasa. Kemudian diraihnya bungkusan yang sejak tadi tergeletak di atas meja.

Langkahnya terburu menuju suatu tempat. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berani mengambil sikap. Entah sikap itu nanti membuatnya harus dimusuhi banyak orang atau malah akan melukai perasaannya sendiri.

Koridor panjang Rumah Sakit membuatnya lelah. Laras menghentikan langkah. Pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang berjalan terburu di belakangnya.

Ia mengenalinya. Ibunya Bram! 

"Ibu," ujarnya setengah berlari. Diciumnya tangan perempuan itu.

"Mari kita bicara, Nduk."

Mereka lalu duduk di bangku panjang yang terletak di ujung koridor Rumah Sakit.

"Dalam cinta, kadang ada hati yang terluka agar kita bisa belajar arti keikhlasan. Dan untuk meraih keikhlasan itu, butuh perjuangan. Kau paham maksud ibu, kan, Nduk?"

Laras mengangguk. Ia sangat paham. Apalagi saat matanya tanpa sengaja melihat dua orang berjalan berdampingan menghampirinya.

Kedua orang itu, Bram dan Zara.

Tampaknya baik Bram maupun Zara telah sama-sama mengambil keputusan terbaik. 

Rujuk.

***

Malang, 10 Juni 2016

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun