"Masih ada waktu untuk memikirkannya kembali. Sebelum perempuan di seluruh dunia ini membencimu."
Ajeng berdiri. Menatap sahabatnya sejenak. Lalu pergi tanpa menoleh lagi.
***Â
Azan Magrib menghentikan pikiran kusutnya. Laras meneguk sedikit teh dingin untuk membatalkan puasa. Kemudian diraihnya bungkusan yang sejak tadi tergeletak di atas meja.
Langkahnya terburu menuju suatu tempat. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berani mengambil sikap. Entah sikap itu nanti membuatnya harus dimusuhi banyak orang atau malah akan melukai perasaannya sendiri.
Koridor panjang Rumah Sakit membuatnya lelah. Laras menghentikan langkah. Pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang berjalan terburu di belakangnya.
Ia mengenalinya. Ibunya Bram!Â
"Ibu," ujarnya setengah berlari. Diciumnya tangan perempuan itu.
"Mari kita bicara, Nduk."
Mereka lalu duduk di bangku panjang yang terletak di ujung koridor Rumah Sakit.
"Dalam cinta, kadang ada hati yang terluka agar kita bisa belajar arti keikhlasan. Dan untuk meraih keikhlasan itu, butuh perjuangan. Kau paham maksud ibu, kan, Nduk?"