"Tak harus begitu, Zara. Karena...apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu," ia berusaha merengkuhku. Hatiku bergetar. Antara cinta dan benci. Antara rindu dan dendam.
"Jika kau mencintaiku, tak seharusnya kau meminta hal yang tak bisa kulakukan," air mataku mulai memburai. Mas Bram terdiam.Â
Perlahan kutinggalkan surga itu. Demi ketidakrelaanku.
Dan mulailah, sejak pembicaraan itu kubangun nerakaku sendiri.
***
Dalam cinta, semakin sedikit kamu melihat dengan matamu, semakin banyak kamu akan melihat dengan hatimu.
Barangkali itulah yang kini tengah kurasakan. Aku tak bisa melihat Zara dalam jarak terdekat lagi. Tidak sebebas hari-hari kemarin saat kami masih bersama. Aku tak menemukan lagi senyum manisnya yang mampu mengalahkan hangatnya sinar mentari.
Ia memilih pergi ke rumah orang tuanya karena keegoisanku. Benarkah aku ini laki-laki egois? Mengapa begitu sulit bagi lelaki sepertiku menempatkan diri saat keinginan itu muncul? Sekalipun kuyakini semua ini pasti ada campur tangan Allah di dalamya.
Aku menatap wajahku yang membias di dalam cermin.Â
"Kamu terlalu dangkal mengambil keputusan, Bram," suara Ibu mengagetkanku.
"Tapi Ibu bisa menerima kedangkalan keputusan Ayah," sahutku tanpa bermaksud mengingatkan luka lama. Ibu hanya tersenyum. Tangan lembutnya mengelus kepalaku seolah aku tak pernah tumbuh besar di matanya.